Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang
Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang
Oleh : Persatuan keluarga mahasiswa rajang ( PKMR ) Bengkulu
13002863981469978832 Perjalan untuk mendokumentasikan huruf-hurus kuno
rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya sudah lama saya lakukan yaitu pada
bulan Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio di
Bogor, kami berangkat ke Bengkulu. Tepatnya Bengkulu Utara kampung
halaman saya.
Di Bengkulu selain membuat film dokumenter
tentang keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga
menyempatkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk
survey mengenai keberadaan tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan
sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan ritual saya karena
akan menelusuri sejarah persebaran suku rejang yaitu suku saya sendiri.
Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli rejang saya tidak
pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)
Tulisan ini
adalah saya kembangkan dari hasil wawancara dengan Pak Salim, salah
satu tokoh adat yang ada di Desa Topos, Kabupaten Lebong. Salah satu
kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di hulu sungai ketahun.
Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil wawancaranya
disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk
mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi
yah beginilah jadi lama saya menulisnya. Hasil-hasil wawancara ini saya
coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti
bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa
bahasa yang tidak mampu saya terjemahkan.
Sejarah Rejang
Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek
mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah
pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu
pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang,
lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini
ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato
dan Haji Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu
daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal
di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji
Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang
sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di
Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat
tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba’
Atas.
Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah
hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang
yang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai
(jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah
berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu
ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang
menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu
akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal
mereka berada.
Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita
sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki,
maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya
membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita
melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui
orang rejang. Amen bagiea’ samo kedaou, ameun betimbang samo beneug,
amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang
sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.
Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka
mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat
tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk
Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun,
Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran
ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana).
Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah
Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang
bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari
tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:
1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango’ keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara
Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan,
Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah
rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka
akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak
orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka
masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua’ bia
piting kundei tanea’ ubeuat, pecua bia’ piting kundei tanea’ guao’,
istilah rejangnya mbon stokot, ‘mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui
ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong,
walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya
asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang
lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari
Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku
rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri
sekalipun.
Cara Adat Rejang yang sudah menghilang
Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku
rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan
ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak
dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau
hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi
dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi.
Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan
pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang
dalam bahasa rejangnya disebut mono’ biing.
Pada zaman dahulu,
sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih
dahulu, yang disebut bekejai binia’. Benih ini ditaroh didalam tadeu
(sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum
jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan
juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak
jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki
nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin
pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin
memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika
ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues,
menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. Tanea’ talai istilahnya,
tukang ngembalo tanea’ dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan
tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya.
Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan
sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada
pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti
kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan
pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala’ yang memanggil
kita.
Dalam menanam padi, jika terdapat hama dalam tanaman
tersebut seperti hama pianggang, senangeuw, luyo atau luyang dalam
bahasa rejannya, mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara
menyemburkan air daun sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib.
Dalam tiga kali semburan dalam waktu senja hama itu bisa pergi. Dengan
kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu tidak mengenal
pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita jelek
untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana.
“Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di
jampi, nidau kalo dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya,
baliklah ke tempat asalnya” terang pak salim kepadaku karena sekarang
sudah banyak yang menggunakan racun pestisida dalam membasmi hama.
Jika orang rejang ingin membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih
dahulu mereka memilih jenis kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo,
kayu medang. Cara untuk mengambil kayu tersebut pun ada aturan adatnya,
yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala air atau mengarah mata air,
atau menusuk ke leko’ itu tidak boleh diambil. Itu tandanya celaka dalam
arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang sudah kita bangun dan
setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal dunia.
Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka
atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan
susah setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam
membangun rumah adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke
desa atau kampung. “Inilah 100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk
kita membangun rumah” ungkap pak salim.
Sebelum adanya masa
orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem
kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja
bagi masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu
menjalankan roda pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat
yang ada karena dialah raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala
marga ditanah rejang dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan
yang ada yaitu camat, kepala desa dan turunannya. Kepala marga diganti
dengan Camat. Setelah sistem kepala marga diganti, masyarakat adat
seperti ayam kehilangan induknya. Banyak cara-cara adat yang sudah tidak
diterapkan lagi dan budaya-budaya serta kearifan lokal perlahan
memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti akan
cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya
dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.
Hilangnya adat
istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran
rejang mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi
sama banyak, menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau
lagi sama rata. Siapa yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang
kekuasaan. Manusia dalam berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang
akhirnya mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.
“Do’oba
penyebab na banjir, ite manusio yo membabi buta amen muka’ imbo. Coa
lak mikut aturan igai, nak tebing nuka, do’o ba asaiku imbo yo usak.
Kalau zaman uku sapei tiak uku nak mindas igai, zaman nenek uku coa
pernah ngusak. Dejamin coagen imbo gi usakne” (Itulah penyebab yang
mendatangkan banjir, karena manusia membabi buta dalam membuka hutan.
Tidak mengikuti aturan lagi, tebing dibuat lahan, nah itulah barangkali
hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya hingga bapak saya keatas, zaman
nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak ada yang rusak hutannya)
tegas pak salim yang membuat saya kagum akan semua penjelasan beliau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar