Selasa, 17 April 2012
Senin, 16 April 2012
“Hari ini menentukan masa depan”
“Hari ini menentukan masa
depan”
fatra kurniawan |
Kalimat bijak ini biasanya digunakan untuk membangkitkan motivasi agar selalu membiasakan diri melakukan yang terbaik pada hari ini. Tujuannya adalah agar di masa depan kita pun mendapat yang terbaik. Aplikasi nyatanya, misalnya, jika hari ini kita rajin belajar maka kita akan pandai dan masa depan kita akan cemerlang. Atau, istilah sederhananya ‘mudah mendapatkan pekerjaan’. Sebaliknya, jika hari ini kita malas, maka hari esok akan menjadi suram, sulit mendapatkan pekerjaan.
Definisi dari interpretasi kata bijak tersebut memang baik untuk memotivasi diri kita supaya terus melakukan yang terbaik pada setiap harinya. Namun, sayangnya hanya berorientasi pada “kebaikan hari ini” dan keoptimisan “hari esok sebagai dampak kebaikan yang kita lakukan hari ini”. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kita berjalan tanpa tujuan yang pasti. Hanya menapaki jalan ke segala arah asalkan aman, tidak berduri dan berkerikil tajam, maka kita akan sampai pada sebuah tempat yang indah dan penuh kebahagiaan. Tapi tempat tersebut pun belum pasti apa dan di mana. Padahal, sudah menjadi filosofi umum bahwa dalam perjalanan, membuat sebuah karya, atau apa pun, kita harus memiliki tujuan pasti. Dengan kata lain, tujuan kita di masa depan harus jelas agar apa yang kita lakukan hari ini untuk menggapai tujuan tersebut tidak sia-sia belaka. Oleh karena itu, marilah mengubah persepsi bahwa masa depan menentukan hari ini, bukan hari ini menentukan masa depan.
“Masa depan menentukan hari ini”
Kalimat dalam tanda kutip tersebut berarti bahwa kita harus merancang masa depan terlebih dahulu untuk kemudian menentukan tindakan-tindakan apa yang harus kita lakukan untuk mencapai masa depan yang kita rancang. Misalnya, ketika seorang siswa kelas 3 SMA harus menentukan universitas dan jurusan untuk melanjutkan kuliah. Tidak bijak jika asal saja memilih universitas, lebih lagi asal memilih jurusan dengan dalih ‘yang penting bisa kuliah’. Siswa tersebut sebaiknya terlebih dahulu menentukan jurusan apa yang akan ia ambil berdasarkan minat, bakat, dan cita-citanya. Misalnya, ia ingin menjadi guru Bahasa Inggris, maka hendaklah ia memilih jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Setelah itu, barulah menentukan perguruan tinggi atau universitasnya. Tentu, universitas yang dipilih harus memiliki fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Selama masa kuliah, nantinya ia akan belajar tentang bagaimana menjadi seorang guru dan sekaligus mendalami ilmu yang akan ia ajarkan sebagai perbekalan menjadi guru. Ia pun sebaiknya mulai mengajar, seperti les atau privat, agar dapat semakin membiasakan diri dan mencintai profesi sebagai pendidik.
Jika dipetakan, kira-kira akan menjadi seperti berikut ini:
Masa depan= Tujuan <> Guru Bahasa Inggris (di masa depan kita memiliki tujuan, yaitu menjadi guru bahasa Inggris).
Hari ini = Upaya menggapai tujuan <> Kuliah jurusan pendidikan Bahasa Inggris, latihan mengajar (Hari ini kita melakukan upaya untuk menggapai tujuan di masa depan, yaitu dengan mengambil kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan latihan mengajar).
Dengan demikian kita telah memiliki tujuan akhir yang pasti beserta rute jalan yang harus kita lalui untuk menggapai tujuan tersebut.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan.” (HR. Bukhari).
Maksud dari “orang asing” dalam hadits tersebut adalah posisi kita di dunia saat ini, karena sebenarnya kampung halaman kita adalah surga, dan di dunia ini kita hanyalah dalam perjalanan. Kita tentu amat rindu untuk bisa kembali ke surga yang penuh keindahan itu. Namun, untuk dapat kembali ke sana bukanlah dengan cuma-cuma. Ada syarat dan ketentuan yang harus kita miliki dan lakukan, ada pengorbanan dan usaha yang harus dilakukan, seperti senantiasa menghadirkan hukum syariat di hati dalam setiap keadaan, melaksanakan konsekuensi hukum tersebut, dan segera bertaubat atau memohon ampunan ketika terjerumus dalam dosa. Begitu pula dengan pencapaian kita terhadap sebuah tujuan di dunia, harus dengan upaya dan pengorbanan tertentu, seperti contoh yang telah dipaparkan di atas.
Kita di dunia adalah pengembara, seorang yang tengah mengadakan perjalanan, maka tujuan hidup kita haruslah jelas, perbekalan dan rute yang akan kita lalui pun harus jelas agar mencapai keparipurnaan tujuan. Oleh karena itu, mari mengubah persepsi bahwa masa depan menentukan hari ini.
Wallahu a’lam bisshawab.
Pacaran Ala Ikhwan Dan Akhwat
Pacaran Ala Ikhwan Dan Akhwat
Tak dipungkiri bahwa cinta adalah merupakan fitrah dari setiap manusia. Tapi kemudian tak sedikit manusia salah dalam mengekspresikan cintanya. Menodai setiap kesucian yang telah dijaga ketika kekosongan melanda hati dan jiwa.
Virus ini tidak memandang siapapun dari jabatannya, keilmuannya, hartanya, kecantikannya, ketampanannya, atau hal lainnya. Dia akan menyerang siapapun ketika lengah, lemah dengan kondisi putus asa dan zulaikha pun rela tersayat-sayat karena cinta.
Intensnya pertemuan antara ikhwan dan akhwat tak dipungkiri bahwa setan semakin mudah bermain dan menjebak mengeluarkan naluri kesyahwatan yang tidak terkontrol ketika lengah tak waspada. Semua bisa berawal dari kondisi apapun juga, bahkan ketika jihad pun semuanya menjadi lemah tak berdaya ketika telah jatuh pada peraduannya.
Bisa saja diawali dengan sms agenda-agenda besar dakwah yang ada, kemudian berlagak salih membangunkan tahajud malam atau berbagi sms ghirah penyemangat untuk menyulut kekuatan api melemahkan jiwa ketauhidan. Yang kemudian beralih pada rasa simpati yang tak terarah pada kekosongan jiwa dan pada akhirnya menjadi seseorang yang tertutup pada saudari-saudari atau saudara-saudara yang sesungguhnya yang sebenar-benar cinta.
HP ku adalah wilayah privatku, tak ada yang boleh membukanya. Ketika ada yang tak sengaja membuka emosi menyulut tak terhingga padahal untuk menutupi maksiat yang tak akan bisa berlepas diri dari ke-Maha Tahuan Allah swt akan apapun yang disembunyikan oleh hamba-hamba-Nya.
Pacaran gaya baru yang tak harus menuntut berjalan bersama, makan berdua, bergandengan seirama tapi hanya cukup “ukhti tahajud yuk…” lalu “akhi tetap semangat, jangan sampai sakit yah” kemudian “ukhti jangan lupa baca quran yah” dan “akhi kita murajaah bareng lewat HP yuk” seterusnya, naudzubillah.
Tak heran ketika ikhwan dan akhwat menikah tapi justru tak bahagia, ketika menikah tapi penuh cemburu buta, ketika menikah justru hilang dari dakwah. Tak lain hanyalah karena telah kehilangan kemurnian cinta sebelum saatnya cinta itu berlabuh pada pelabuhan yang telah dirancang ketepatan pertemuannyanya.
Tentunya tidak ada kata terlambat untuk merubahnya, perhatikan saudara-saudara yang berada disekeliling kita. Merekalah cinta sesungguhnya saat ini. Tempat berbagi, tempat saling mengingatkan, tempat murajaah paling setia, tempat memadu hati bertemu Allah penuh semangat bersama. Allah menguji iman tapi kemudian kunci jawabannyapun ada disekitar dan sekekliling kita yang terkadang tak kita sadari keberadaannya.
Benarkah cinta itu saat ini karena keshalihannya, karena semangatnya, karena keilmuannya, karena banyaknya hapalannya? Jika benar kenapa harus engkau biarkan ia ternoda ketika belum tiba saatnya? Ataukah karena keinginan bermaksiat yang sebenarnya membuat semakin kuat untuk terus berupaya merusak cinta ketika belum tiba saatnya?
Akhi dan ukhti, mari bersama kita jaga kemurnian cinta. Percayalah bahwa maksiat yang penuh dengan kesembunyian apalagi terang-terangan tidak akan pernah mengembalikan kejayaan dakwah ini sesuai impian.
Wallahualam
Faguza Abdullah
Sejarah Asal Usul Komunitas Adat Rejang
Sejarah Asal Usul Komunitas Adat Rejang
Suku bangsa Rejang yang dewasa inibertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :
Suku bangsa Rejang yang dewasa inibertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :
John Marsden, Residen Inggris
di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai
Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo
(selupu) dan Toobye (Tubay).
J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais
(1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal
usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena
orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena
orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai
penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang
dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu
Petulai Tubei.
Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.
Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.
Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.
Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:
Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.
Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.
Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
Biku Bermano menggantikan Ajai Malang
Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).
Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.
Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.
“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.
Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.
Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.
“Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk
Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.
Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.
Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.
Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.
Sistem Kelembagaan Komunal/Adat
Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.
Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.
Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.
Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah.
Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.
Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.
Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.
Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:
Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.
Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.
Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
Biku Bermano menggantikan Ajai Malang
Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).
Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.
Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.
“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.
Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.
Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.
“Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk
Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.
Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.
Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.
Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.
Sistem Kelembagaan Komunal/Adat
Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.
Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.
Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.
Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.
Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah.
salm jang,,,,,,,,,,,
Kamis, 12 April 2012
PRAMUKA SEJATI (2)
Melalui tulisan saya ini, ketika ada yang bertanya “kenapa masih mau ikut Pramuka”, maka saya akan menjawab “kenapa tidak?”
Saya seorang pramuka dan saya tegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi seorang Pramuka.
Saya ikut bergabung, kenal dengan yang namanya pramuka sejak saya berumur 8 tahun, sejak kelas 3 SD karena saat itu di sekolah saya SDN mewajibkannya.
Dan sejak saat itulah saya jatuh cinta pada pramuka….
Saya jatuh cinta pada suasananya.
Saya jatuh cinta pada berkemah.
Saya jatuh cinta pada kekeluargaannya.
Saya jatuh cinta pada tepuk-tepuknya.
Saya jatuh cinta pada semua hal yang telah di ajarkan pada saya.
Mereka yang tidak tahu, memandang Pramuka sebelah mata, karena mereka tidak pernah benar-benar ikut masuk ke dalamnya. Mereka tidak pernah merasakan dididik sebagai seorang Pramuka. Tetapi saya juga tidak menyalahkan jika ada yang berpandangan seperti itu karena mungkin mereka mengenal Pramuka dari satu sisi saja. Anggapan bahwa Pramuka sudah kuno dan ketinggalan jaman mungkin ada benarnya juga, kegiatan yang monoton dan itu-itu saja akhirnya membuat orang bosan. Tetapi jangan salah, saya beberapa kali “bekerja” bersama dengan orang-orang yang berasal dari Pramuka dan yang tidak berasal dari Pramuka. Hasilnya, hampir sebagian besar orang yang benar-benar pernah merasa di didik oleh Pramuka akan lebih cekatan, lebih peka, dan lebih mandiri. Ini terjadi karena memang di Pramuka kami dibiasakan untuk melakukan hal-hal seperti itu. Bayangkan saja, bagaimana tidak kita jadi mandiri kalau kita harus berkemah di alam terbuka, makan seadanya, masak sendiri, tidur beralaskan tikar, dan berbagi tempat dengan teman-teman yang lain?
Saya dididik dari Pramuka, saya rasakan dan saya sadari benar manfaatnya. Dulu, ketika saya kecil, saya adalah seseorang yang pemalu. Saya tidak berani bicara di depan orang banyak, kalau disuruh maju ke depan kelas, tangan saya gemetar dan tidak tahu harus apa. Saya juga dulu sangat egois, pengen menang sendiri, tidak mau share sama orang lain, tapi semua itu berubah ketika saya mengenal Pramuka.
Di pramuka saya diajarkan tidak juga materi tapi juga etika.
Bagaimana cara menghargai diri sendiri dan orang lain.
Bagaimana cara agar berani tampil di depan orang banyak.
Bagaimana cara disiplin.
Bagaimana bisa jadi orang yang teratur.
Bagaimana jadi mandiri.
Bagaimana cara kuat.
Dan dari pramuka saya di ajari bagaiman cara menemukan mimpi saya. Mungkin gag banyak yang tahu tentang itu, yang diketahui hanya Pramuka itu tepuk-tepuk, semaphore morse, baris berbaris, dll….
Halooooooooo??????
Itu hanya salah satu dari sebagian kecil metode pengajarannya saja. Dan asal tahu saja, Pramuka bukan hanya itu saja.
Di pramuka juga diajarkan organisasi, memecahkan masalah, bekerja sama, menghargai orang lain, dan yang paling penting adalah bagaimana cara memaksimalkan potensi yang kita miliki.
Bahkan sekarang telah dicanangkan Revitalisasi Gerakan Pramuka, dimana Pramuka sudah mulai berwarna beda, tanpa mengurangi nilai-nilai yang ditanamkan ke anak didiknya. Hebatnya lagi Pramuka adalah satu-satunya organisasi yang mendunia, dipunyai oleh semua negara di dunia, diakui secara internasional.
Jadi dengan Pramuka kita juga bisa jalan-jalan kok, ke luar kota, ke luar pulau, bahkan ke luar negeri secara gratis! Bisa menambah temen, nambah link, nambah ilmu, nambah pengalaman,,,
Hebat Kan?
Tentu saja.
Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bangga jadi Pramuka.
Saya sangat miris, ketika teman-teman yang juga sampai sekarang masih jadi Pramuka (atau pakai seragam Pramuka), justru malu mengakui kalau dia adalah seorang Pramuka.
Bagaimana orang lain bisa punya anggapan positif tentang pramuka kalau anggota sendiri malu mengakui?
Ya kan? Ya kan? Ya kan???
Jadi buat temen-temen yang sekarang masih setia jadi Pramuka, ayo kita tunjukkan kalau Pramuka juga berwarna, tidak hanya coklat muda dan coklat tua. Tunjukan bahwa ada banyak karya yang bisa dihasilkan sebagai seorang Pramuka. Berbagi pada sesama, berbakti pada negara!
Pramuka itu jiwa, bukan pakaian.
SAYA PRAMUKA DAN SAYA BANGGA
Rabu, 11 April 2012
PEMIMPIN SEJATI
PEMIMPIN
Ya, pemimpin yang hebat adalah guru yang mumpuni. Kenapa begitu? Coba saja lihat, tugas seorang guru. Tugas dan misi termulia dari seorang guru adalah "mewariskan" apa yang dimilikinya kepada para muridnya. Apa saja yang diwariskan?
Ya, pemimpin yang hebat adalah guru yang mumpuni. Kenapa begitu? Coba saja lihat, tugas seorang guru. Tugas dan misi termulia dari seorang guru adalah "mewariskan" apa yang dimilikinya kepada para muridnya. Apa saja yang diwariskan?
Saya membaginya menjadi tiga elemen utama yaitu:
pengetahuan (knowledge), keahlian dan pengalaman (skill), dan
sikap, perilaku, budi pekerti (attitude). Berbekal knowledge-skill-attitude
(untuk singkatnya sebut saja: KSA) itu si guru berupaya membentuk si
murid untuk menjadi seperti dirinya. Jadi by-default seorang guru
haruslah menjalankan fungsi role-modeling. Nggak bisa si guru
mengajarkan kepada si murid tapi cuma omong saja tanpa dia mempraktikkannya.
"Karya terbesar" seorang guru adalah
"warisannya" yaitu, si murid yang sudah tertempa KSA-nya hingga
menjadi seperti dia, bahkan melebihinya. Guru yang baik adalah mereka yang
total menumpahkan KSA yang dimilikinya kepada si murid tanpa tersisa sedikit
pun. Karena itu kalau kita nonton film Star Wars, saat-saat Yoda memberikan
ilmu terakhir yang dimilikinya kepada si murid Luke Skywalker adalah
momen-momen berharga yang digambarkan secara dramatik dan sarat makna.
Guru juga selalu melayani (serve) dan berkorban
(sacrifice) untuk kebaikan dan keutamaan si murid. Itu sebabnya oleh
pemerintah zaman Orde Baru mereka mendapatkan julukan "Pahlawan Tanpa
Tanda Jasa". Guru yang hebat adalah mereka yang secara tulus-ikhlas
berkorban demi untuk kebaikan, kesuksesan, dan kejayaan murid-muridnya. Guru
bukanlah pekerjaan yang selfish. Guru yang hebat peduli pada muridnya
ketimbang dirinya sendiri. Hakiki seorang guru adalah pelayanan, pengabdian,
dan dedikasi diri kepada orang lain. Guru adalah sebuah compassion.
Itu guru. Lalu bagaimana dengan pemimpin,,,,,,,?
Katanya pemimpin yang hebat pasti guru yang hebat pula? Saya 100% setuju dengan
James Kouzes dan Barry Posner (baca buku terakhirnya: A Leader's Legacy)
bahwa: "leadership is about leaving a lasting legacy". Pekerjaan
utama seorang pemimpin adalah meninggalkan "warisan" yang tak lekang
ditelan zaman. Gandhi meninggalkan prinsip perlawanan penjajah dengan tanpa
kekerasan; Bill Gates meninggalkan Microsoft dan Gates & Melinda
Foundation; Mohammad Yunus meninggalkan Grameen Bank berikut aktivitasnya
memberdayakan kaum papa; Soekarno meningalkan Kemerdekaan Indonesia.
Tapi warisan para pemimpin besar itu tak hanya sebatas
itu. Ada warisan lain yang justru lebih substansial. Soekarno adalah pemimpin
hebat karena seluruh hidupnya diabdikan dan didedikasikan untuk menghasilkan
dan (setelah mati) meninggalkan warisan tak ternilai, kemerdekaan Indonesia.
Namun bagi saya warisan sesungguhnya yang ditinggalkan oleh Soekarno adalah
para pemimpin penerusnya yang mengisi dan "merawat" kemerdekaan itu.
Warisan terbesar Soekarno sebagai pemimpin adalah
"murid-murid"-nya, yaitu para pemimpin penerus bangsa yang selalu
terinspirasi untuk mewujudkan impian-impiannya mengenai kemerdekaan Indonesia
yang sesungguh-sungguhnya. Jadi warisan Soekarno masih cacat dan belum
paripurna kalau para pemimpin yang meneruskannya berperangai bukan pemimpin:
suka korupsi, selfish, rakus kekuasaan, greedy, munafik. Leader
must create other leaders, pemimpin harus menghasilkan pemimpin lain yang
lebih hebat darinya. Sama dengan guru harus menghasilkan murid-murid yang lebih
hebat darinya.
Lalu, seperti juga guru, seorang pemimpin juga harus mentransfer
dan meng-copy KSA yang dimilikinya kepada orang-orang yang dipimpinnya (followers).
Itu atinya, ia harus memainkan peran role modeling bagi para follower-nya.
Untuk memainkan peran ini maka seorang pemimpin harus beres KSA-nya. Bagaimana
kalau KSA-nya belepotan? Ya, tentu saja si pemimpin akan kehilangan
kredibilitasnya, karena: he doesn't practice what he preach. Dan kita
tahu kredibilitas adalah "nyawanya" kepemimpinan. Anda nggak kredibel
di mata anak buah, maka habislah Anda.
Dan akhirnya, seperti halnya guru, seorang pemimpin
haruslah serve & sacrifice. Pemimpin yang ikhlas selalu
melayani dan berkorban agar orang-orang yang dipimpinnya berkembang. Tugas berat
seorang pemimpin adalah mentransformasi para follower-nya dari good
menjadi great, dari orang biasa-biasa saja menjadi orang luar biasa.
Seorang pemimpin harus memfasilitasi dan menjadi enabler bagi para follower-nya
untuk sukses, untuk make a difference, untuk make a legacy.
Sama dengan guru, pemimpin yang jujur dan ikhlas
peduli pada follower-nya ketimbang dirinya sendiri. Hakiki seorang
pemimping adalah pelayanan, pengabdian, dan dedikasi diri kepada orang lain.
Pekerjaan memimpin adalah sebuah compassion. Kalau sudah begini kita
menjadi sadar bahwa pekerjaan seorang pemimpin demikian mulianya. Karena itu
pemimpin yang jujur dan ikhlas seharusnya pantas mendapatkan penghargaan
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa-seperti halnya guru.
ISLAM kok PACARAN ?!…
ISLAM kok
PACARAN ?!…
Oleh : fatra kurniawan dari berbagai sumber islami
Soal pacaran di zaman sekarang
tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini
sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film
dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus
ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan
tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa. Selama ini
tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di
dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa
nikah. Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur
Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan
hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love
(cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement
(tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran,
jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri,
maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan
sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih
pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi
mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung
mengenang dianya. Waktu luangnya banyak terisi hal-hal semacam melamun atau
berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya
mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk
hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ? Atas dasar itulah
ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang
tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan
mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran
sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan
bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran
moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science
dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan
dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran.
Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW
: “Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat
melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas
menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi
mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi
bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau
bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: “Janganlah salah seorang di
antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama
dengan muhrimnya.” Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam
hadits yang lain: “Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan,
barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya
dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati.”
Tapi mungkin juga ada di antara
mereka yang mencoba “berdalih” dengan mengemukakan argumen berdasar kepada
sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : “Barang siapa
yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah,
dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan
imannya.” Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang
kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi “dunia
berpacaran” mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka
dapat mengendalikan kemudi “perahu pacaran” itu ? Dan jika kita kembalikan lagi
kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang
mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang,
lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ?
Dan bagaimana mereka merealisasikan “mencintai karena Allah” tersebut ? Kalau
(misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka
aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek,
atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai “mencintai karena
Allah ?” Jawabnya jelas tidak ! Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting
dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada
pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan
anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang
bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah
segera saja laksanakan.
Pacaran dalam Islam,,,??? Gimana sich sebenernya
pacaran itu, enak ngga’ ya? Bahaya ngga’ ya ? Apa bener pacaran itu harus kita
lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang
Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu? Memiliki rasa cinta adalah
fitrah, Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta,
akibatnya dahsyat yang diinget cuma si
dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia.
Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela
ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe’ akhirnya
pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat
lagi, karena pengen bukti’in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena
cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak dukun pun ikut
bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah
diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu
mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri
bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang
sifatnya pasti, kalo ngga’ terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang
disebut kebutuhan jasmani (haajatul ‘udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum,
tidur, bernafas, buang hajat. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi
kalo’ kagak terpenuhi manusia ngga’ bakalan mati, cuman bakal gelisah sampe’
terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah).
Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu : Gharizatul
baqa’ (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta,
cinta pada kedudukan, pengen diakui. Gharizatut tadayyun (naluri untuk
mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk
melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah. Gharizatun
nau’ (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa
berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi
dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif islam. In
fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering
cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan
ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: “Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk.” (Q. S. Al Isra’ : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran
banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan.
Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do’i. Pokoknya aktivitas pacaran
itu dekat banget dengan zina. So….kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and
kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja
pacaran itu haram.
Adapun resep nabi yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian
telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat
menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara
kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi
penghalang untuk melawan gejolak nafsu.”(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan
Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan
ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi:
“Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi),
sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat
dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya.” (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa
untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: “Hendaklah kita
benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah
akan menutup rapat matamu.”(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh
merupakan QADLA’ (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga’ punya andil nentuin
sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut
Islam. Tercantum dalam Al Qur’an: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang
keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu).
Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”
Wallahu A’lam bish-Showab
Langganan:
Postingan (Atom)