Selasa, 17 April 2012

Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang

Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang
 Oleh : Persatuan keluarga mahasiswa rajang ( PKMR ) Bengkulu

13002863981469978832 Perjalan untuk mendokumentasikan huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya sudah lama saya lakukan yaitu pada bulan Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio di Bogor, kami berangkat ke Bengkulu. Tepatnya Bengkulu Utara kampung halaman saya.

Di Bengkulu selain membuat film dokumenter tentang keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga menyempatkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk survey mengenai keberadaan tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan ritual saya karena akan menelusuri sejarah persebaran suku rejang yaitu suku saya sendiri. Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli rejang saya tidak pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)

Tulisan ini adalah saya kembangkan dari hasil wawancara dengan Pak Salim, salah satu tokoh adat yang ada di Desa Topos, Kabupaten Lebong. Salah satu kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di hulu sungai ketahun. Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil wawancaranya disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi yah beginilah jadi lama saya menulisnya. Hasil-hasil wawancara ini saya coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa bahasa yang tidak mampu saya terjemahkan.

Sejarah Rejang

Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba’ Atas.

Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang yang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.

Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea’ samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:

1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh

2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape

3. Rio Mango’ keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang

4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua’ bia piting kundei tanea’ ubeuat, pecua bia’ piting kundei tanea’ guao’, istilah rejangnya mbon stokot, ‘mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.

Cara Adat Rejang yang sudah menghilang

Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang dalam bahasa rejangnya disebut mono’ biing.

Pada zaman dahulu, sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu, yang disebut bekejai binia’. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. Tanea’ talai istilahnya, tukang ngembalo tanea’ dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala’ yang memanggil kita.

Dalam menanam padi, jika terdapat hama dalam tanaman tersebut seperti hama pianggang, senangeuw, luyo atau luyang dalam bahasa rejannya, mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara menyemburkan air daun sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib. Dalam tiga kali semburan dalam waktu senja hama itu bisa pergi. Dengan kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu tidak mengenal pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita jelek untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana. “Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di jampi, nidau kalo dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya, baliklah ke tempat asalnya” terang pak salim kepadaku karena sekarang sudah banyak yang menggunakan racun pestisida dalam membasmi hama.

Jika orang rejang ingin membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih dahulu mereka memilih jenis kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo, kayu medang. Cara untuk mengambil kayu tersebut pun ada aturan adatnya, yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala air atau mengarah mata air, atau menusuk ke leko’ itu tidak boleh diambil. Itu tandanya celaka dalam arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang sudah kita bangun dan setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal dunia. Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan susah setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam membangun rumah adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke desa atau kampung. “Inilah 100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk kita membangun rumah” ungkap pak salim.

Sebelum adanya masa orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja bagi masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu menjalankan roda pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat yang ada karena dialah raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala marga ditanah rejang dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang ada yaitu camat, kepala desa dan turunannya. Kepala marga diganti dengan Camat. Setelah sistem kepala marga diganti, masyarakat adat seperti ayam kehilangan induknya. Banyak cara-cara adat yang sudah tidak diterapkan lagi dan budaya-budaya serta kearifan lokal perlahan memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti akan cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.

Hilangnya adat istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran rejang mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi sama banyak, menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau lagi sama rata. Siapa yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang kekuasaan. Manusia dalam berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang akhirnya mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.

Do’oba penyebab na banjir, ite manusio yo membabi buta amen muka’ imbo. Coa lak mikut aturan igai, nak tebing nuka, do’o ba asaiku imbo yo usak. Kalau zaman uku sapei tiak uku nak mindas igai, zaman nenek uku coa pernah ngusak. Dejamin coagen imbo gi usakne” (Itulah penyebab yang mendatangkan banjir, karena manusia membabi buta dalam membuka hutan. Tidak mengikuti aturan lagi, tebing dibuat lahan, nah itulah barangkali hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya hingga bapak saya keatas, zaman nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak ada yang rusak hutannya) tegas pak salim yang membuat saya kagum akan semua penjelasan beliau

Senin, 16 April 2012

“Hari ini menentukan masa depan”


“Hari ini menentukan masa depan”

fatra kurniawan

Kalimat bijak ini biasanya digunakan untuk membangkitkan motivasi agar selalu membiasakan diri melakukan yang terbaik pada hari ini. Tujuannya adalah agar di masa depan kita pun mendapat yang terbaik. Aplikasi nyatanya, misalnya, jika hari ini kita rajin belajar maka kita akan pandai dan masa depan kita akan cemerlang. Atau, istilah sederhananya ‘mudah mendapatkan pekerjaan’. Sebaliknya, jika hari ini kita malas, maka hari esok akan menjadi suram, sulit mendapatkan pekerjaan.

Definisi dari interpretasi kata bijak tersebut memang baik untuk memotivasi diri kita supaya terus melakukan yang terbaik pada setiap harinya. Namun, sayangnya hanya berorientasi pada “kebaikan hari ini” dan keoptimisan “hari esok sebagai dampak kebaikan yang kita lakukan hari ini”. Hal ini menimbulkan kesan bahwa kita berjalan tanpa tujuan yang pasti. Hanya menapaki jalan ke segala arah asalkan aman, tidak berduri dan berkerikil tajam, maka kita akan sampai pada sebuah tempat yang indah dan penuh kebahagiaan. Tapi tempat tersebut pun belum pasti apa dan di mana. Padahal, sudah menjadi filosofi umum bahwa dalam perjalanan, membuat sebuah karya, atau apa pun, kita harus memiliki tujuan pasti. Dengan kata lain, tujuan kita di masa depan harus jelas agar apa yang kita lakukan hari ini untuk menggapai tujuan tersebut tidak sia-sia belaka. Oleh karena itu, marilah mengubah persepsi bahwa masa depan menentukan hari ini, bukan hari ini menentukan masa depan.

“Masa depan menentukan hari ini”

Kalimat dalam tanda kutip tersebut berarti bahwa kita harus merancang masa depan terlebih dahulu untuk kemudian menentukan tindakan-tindakan apa yang harus kita lakukan untuk mencapai masa depan yang kita rancang. Misalnya, ketika seorang siswa kelas 3 SMA harus menentukan universitas dan jurusan untuk melanjutkan kuliah. Tidak bijak jika asal saja memilih universitas, lebih lagi asal memilih jurusan dengan dalih ‘yang penting bisa kuliah’. Siswa tersebut sebaiknya terlebih dahulu menentukan jurusan apa yang akan ia ambil berdasarkan minat, bakat, dan cita-citanya. Misalnya, ia ingin menjadi guru Bahasa Inggris, maka hendaklah ia memilih jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Setelah itu, barulah menentukan perguruan tinggi atau universitasnya. Tentu, universitas yang dipilih harus memiliki fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Selama masa kuliah, nantinya ia akan belajar tentang bagaimana menjadi seorang guru dan sekaligus mendalami ilmu yang akan ia ajarkan sebagai perbekalan menjadi guru. Ia pun sebaiknya mulai mengajar, seperti les atau privat, agar dapat semakin membiasakan diri dan mencintai profesi sebagai pendidik.

Jika dipetakan, kira-kira akan menjadi seperti berikut ini:

Masa depan= Tujuan <> Guru Bahasa Inggris (di masa depan kita memiliki tujuan, yaitu menjadi guru bahasa Inggris).

Hari ini = Upaya menggapai tujuan <> Kuliah jurusan pendidikan Bahasa Inggris, latihan mengajar (Hari ini kita melakukan upaya untuk menggapai tujuan di masa depan, yaitu dengan mengambil kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan latihan mengajar).

Dengan demikian kita telah memiliki tujuan akhir yang pasti beserta rute jalan yang harus kita lalui untuk menggapai tujuan tersebut.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan.” (HR. Bukhari).

Maksud dari “orang asing” dalam hadits tersebut adalah posisi kita di dunia saat ini, karena sebenarnya kampung halaman kita adalah surga, dan di dunia ini kita hanyalah dalam perjalanan. Kita tentu amat rindu untuk bisa kembali ke surga yang penuh keindahan itu. Namun, untuk dapat kembali ke sana bukanlah dengan cuma-cuma. Ada syarat dan ketentuan yang harus kita miliki dan lakukan, ada pengorbanan dan usaha yang harus dilakukan, seperti senantiasa menghadirkan hukum syariat di hati dalam setiap keadaan, melaksanakan konsekuensi hukum tersebut, dan segera bertaubat atau memohon ampunan ketika terjerumus dalam dosa. Begitu pula dengan pencapaian kita terhadap sebuah tujuan di dunia, harus dengan upaya dan pengorbanan tertentu, seperti contoh yang telah dipaparkan di atas.

Kita di dunia adalah pengembara, seorang yang tengah mengadakan perjalanan, maka tujuan hidup kita haruslah jelas, perbekalan dan rute yang akan kita lalui pun harus jelas agar mencapai keparipurnaan tujuan. Oleh karena itu, mari mengubah persepsi bahwa masa depan menentukan hari ini.

Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Pacaran Ala Ikhwan Dan Akhwat


Pacaran Ala Ikhwan Dan Akhwat

Tak dipungkiri bahwa cinta adalah merupakan fitrah dari setiap manusia. Tapi kemudian tak sedikit manusia salah dalam mengekspresikan cintanya. Menodai setiap kesucian yang telah dijaga ketika kekosongan melanda hati dan jiwa.

Virus ini tidak memandang siapapun dari jabatannya, keilmuannya, hartanya, kecantikannya, ketampanannya, atau hal lainnya. Dia akan menyerang siapapun ketika lengah, lemah dengan kondisi putus asa dan zulaikha pun rela tersayat-sayat karena cinta.

Intensnya pertemuan antara ikhwan dan akhwat tak dipungkiri bahwa setan semakin mudah bermain dan menjebak mengeluarkan naluri kesyahwatan yang tidak terkontrol ketika lengah tak waspada. Semua bisa berawal dari kondisi apapun juga, bahkan ketika jihad pun semuanya menjadi lemah tak berdaya ketika telah jatuh pada peraduannya.

Bisa saja diawali dengan sms agenda-agenda besar dakwah yang ada, kemudian berlagak salih membangunkan tahajud malam atau berbagi sms ghirah penyemangat untuk menyulut kekuatan api melemahkan jiwa ketauhidan. Yang kemudian beralih pada rasa simpati yang tak terarah pada kekosongan jiwa dan pada akhirnya menjadi seseorang yang tertutup pada saudari-saudari atau saudara-saudara yang sesungguhnya yang sebenar-benar cinta.

HP ku adalah wilayah privatku, tak ada yang boleh membukanya. Ketika ada yang tak sengaja membuka emosi menyulut tak terhingga padahal untuk menutupi maksiat yang tak akan bisa berlepas diri dari ke-Maha Tahuan Allah swt akan apapun yang disembunyikan oleh hamba-hamba-Nya.

Pacaran gaya baru yang tak harus menuntut berjalan bersama, makan berdua, bergandengan seirama tapi hanya cukup “ukhti tahajud yuk…” lalu “akhi tetap semangat, jangan sampai sakit yah” kemudian “ukhti jangan lupa baca quran yah” dan “akhi kita murajaah bareng lewat HP yuk” seterusnya, naudzubillah.

Tak heran ketika ikhwan dan akhwat menikah tapi justru tak bahagia, ketika menikah tapi penuh cemburu buta, ketika menikah justru hilang dari dakwah. Tak lain hanyalah karena telah kehilangan kemurnian cinta sebelum saatnya cinta itu berlabuh pada pelabuhan yang telah dirancang ketepatan pertemuannyanya.

Tentunya tidak ada kata terlambat untuk merubahnya, perhatikan saudara-saudara yang berada disekeliling kita. Merekalah cinta sesungguhnya saat ini. Tempat berbagi, tempat saling mengingatkan, tempat murajaah paling setia, tempat memadu hati bertemu Allah penuh semangat bersama. Allah menguji iman tapi kemudian kunci jawabannyapun ada disekitar dan sekekliling kita yang terkadang tak kita sadari keberadaannya.

Benarkah cinta itu saat ini karena keshalihannya, karena semangatnya, karena keilmuannya, karena banyaknya hapalannya? Jika benar kenapa harus engkau biarkan ia ternoda ketika belum tiba saatnya? Ataukah karena keinginan bermaksiat yang sebenarnya membuat semakin kuat untuk terus berupaya merusak cinta ketika belum tiba saatnya?

Akhi dan ukhti, mari bersama kita jaga kemurnian cinta. Percayalah bahwa maksiat yang penuh dengan kesembunyian apalagi terang-terangan tidak akan pernah mengembalikan kejayaan dakwah ini sesuai impian.

 

Wallahualam

Faguza Abdullah

 

Sejarah Asal Usul Komunitas Adat Rejang

Sejarah Asal Usul Komunitas Adat Rejang

Suku bangsa Rejang yang dewasa inibertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut :
 
John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay). 
J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.

Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.

Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.
Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:

Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.

Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.

Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
Biku Bermano menggantikan Ajai Malang

Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).

Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.

Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.

“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.

Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.

Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.

“Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.
Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk

Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.
Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.

Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.

Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.

Sistem Kelembagaan Komunal/Adat

Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.

Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.

Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.

Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah. 
salm jang,,,,,,,,,,,

Kamis, 12 April 2012

PRAMUKA SEJATI (2)



Melalui tulisan saya ini, ketika ada yang bertanya “kenapa masih mau ikut Pramuka”, maka saya akan menjawab “kenapa tidak?”

Saya seorang pramuka dan saya tegaskan bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi seorang Pramuka.

Saya ikut bergabung, kenal dengan yang namanya pramuka sejak saya berumur 8 tahun, sejak kelas 3 SD karena saat itu di sekolah saya SDN  mewajibkannya.

Dan sejak saat itulah saya jatuh cinta pada pramuka….

Saya jatuh cinta pada suasananya.

Saya jatuh cinta pada berkemah.

Saya jatuh cinta pada kekeluargaannya.

Saya jatuh cinta pada tepuk-tepuknya.

Saya jatuh cinta pada semua hal yang telah di ajarkan pada saya.

Mereka yang tidak tahu, memandang Pramuka sebelah mata, karena mereka tidak pernah benar-benar ikut masuk ke dalamnya. Mereka tidak pernah merasakan dididik sebagai seorang Pramuka. Tetapi saya juga tidak menyalahkan jika ada yang berpandangan seperti itu karena mungkin mereka mengenal Pramuka dari satu sisi saja. Anggapan bahwa Pramuka sudah kuno dan ketinggalan jaman mungkin ada benarnya juga, kegiatan yang monoton dan itu-itu saja akhirnya membuat orang bosan. Tetapi jangan salah, saya beberapa kali “bekerja” bersama dengan orang-orang yang berasal dari Pramuka dan yang tidak berasal dari Pramuka. Hasilnya, hampir sebagian besar orang yang benar-benar pernah merasa di didik oleh Pramuka akan lebih cekatan, lebih peka, dan lebih mandiri. Ini terjadi karena memang di Pramuka kami dibiasakan untuk melakukan hal-hal seperti itu. Bayangkan saja, bagaimana tidak kita jadi mandiri kalau kita harus berkemah di alam terbuka, makan seadanya, masak sendiri, tidur beralaskan tikar, dan berbagi tempat dengan teman-teman yang lain?

Saya dididik dari Pramuka, saya rasakan dan saya sadari benar manfaatnya. Dulu, ketika saya kecil, saya adalah seseorang yang pemalu. Saya tidak berani bicara di depan orang banyak, kalau disuruh maju ke depan kelas, tangan saya gemetar dan tidak tahu harus apa. Saya juga dulu sangat egois, pengen menang sendiri, tidak mau share sama orang lain, tapi semua itu berubah ketika saya mengenal Pramuka.

Di pramuka saya diajarkan tidak juga materi tapi juga etika.

Bagaimana cara menghargai diri sendiri dan orang lain.

Bagaimana cara agar berani tampil di depan orang banyak.

Bagaimana cara disiplin.

Bagaimana bisa jadi orang yang teratur.

Bagaimana jadi mandiri.

Bagaimana cara kuat.

Dan dari pramuka saya di ajari bagaiman cara menemukan mimpi saya. Mungkin gag banyak yang tahu tentang itu, yang diketahui hanya Pramuka itu tepuk-tepuk, semaphore morse, baris berbaris, dll….

Halooooooooo??????

Itu hanya salah satu dari sebagian kecil metode pengajarannya saja. Dan asal tahu saja, Pramuka bukan hanya itu saja.

Di pramuka juga diajarkan organisasi, memecahkan masalah, bekerja sama, menghargai orang lain, dan yang paling penting adalah bagaimana cara memaksimalkan potensi yang kita miliki.

Bahkan sekarang telah dicanangkan Revitalisasi Gerakan Pramuka, dimana Pramuka sudah mulai berwarna beda, tanpa mengurangi nilai-nilai yang ditanamkan ke anak didiknya. Hebatnya lagi Pramuka adalah satu-satunya organisasi yang mendunia, dipunyai oleh semua negara di dunia, diakui secara internasional.

Jadi dengan Pramuka kita juga bisa jalan-jalan kok, ke luar kota, ke luar pulau, bahkan ke luar negeri secara gratis! Bisa menambah temen, nambah link, nambah ilmu, nambah pengalaman,,,

Hebat Kan?

Tentu saja.

Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bangga jadi Pramuka.

Saya sangat miris, ketika teman-teman yang juga sampai sekarang masih jadi Pramuka (atau pakai seragam Pramuka), justru malu mengakui kalau dia adalah seorang Pramuka.

Bagaimana orang lain bisa punya anggapan positif tentang pramuka kalau anggota sendiri malu mengakui?

Ya kan? Ya kan? Ya kan???

Jadi buat temen-temen yang sekarang masih setia jadi Pramuka, ayo kita tunjukkan kalau Pramuka juga berwarna, tidak hanya coklat muda dan coklat tua. Tunjukan bahwa ada banyak karya yang bisa dihasilkan sebagai seorang Pramuka. Berbagi pada sesama, berbakti pada negara!

Pramuka itu jiwa, bukan pakaian.

SAYA PRAMUKA DAN SAYA BANGGA

Rabu, 11 April 2012

PEMIMPIN SEJATI

PEMIMPIN

Ya, pemimpin yang hebat adalah guru yang mumpuni. Kenapa begitu? Coba saja lihat, tugas seorang guru. Tugas dan misi termulia dari seorang guru adalah "mewariskan" apa yang dimilikinya kepada para muridnya. Apa saja yang diwariskan?
Saya membaginya menjadi tiga elemen utama yaitu: pengetahuan (knowledge), keahlian dan pengalaman (skill), dan sikap, perilaku, budi pekerti (attitude). Berbekal knowledge-skill-attitude (untuk singkatnya sebut saja: KSA) itu si guru berupaya membentuk si murid untuk menjadi seperti dirinya. Jadi by-default seorang guru haruslah menjalankan fungsi role-modeling. Nggak bisa si guru mengajarkan kepada si murid tapi cuma omong saja tanpa dia mempraktikkannya.
"Karya terbesar" seorang guru adalah "warisannya" yaitu, si murid yang sudah tertempa KSA-nya hingga menjadi seperti dia, bahkan melebihinya. Guru yang baik adalah mereka yang total menumpahkan KSA yang dimilikinya kepada si murid tanpa tersisa sedikit pun. Karena itu kalau kita nonton film Star Wars, saat-saat Yoda memberikan ilmu terakhir yang dimilikinya kepada si murid Luke Skywalker adalah momen-momen berharga yang digambarkan secara dramatik dan sarat makna.
Guru juga selalu melayani (serve) dan berkorban (sacrifice) untuk kebaikan dan keutamaan si murid. Itu sebabnya oleh pemerintah zaman Orde Baru mereka mendapatkan julukan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Guru yang hebat adalah mereka yang secara tulus-ikhlas berkorban demi untuk kebaikan, kesuksesan, dan kejayaan murid-muridnya. Guru bukanlah pekerjaan yang selfish. Guru yang hebat peduli pada muridnya ketimbang dirinya sendiri. Hakiki seorang guru adalah pelayanan, pengabdian, dan dedikasi diri kepada orang lain. Guru adalah sebuah compassion
Itu guru. Lalu bagaimana dengan pemimpin,,,,,,,?
Katanya pemimpin yang hebat pasti guru yang hebat pula? Saya 100% setuju dengan James Kouzes dan Barry Posner (baca buku terakhirnya: A Leader's Legacy) bahwa: "leadership is about leaving a lasting legacy". Pekerjaan utama seorang pemimpin adalah meninggalkan "warisan" yang tak lekang ditelan zaman. Gandhi meninggalkan prinsip perlawanan penjajah dengan tanpa kekerasan; Bill Gates meninggalkan Microsoft dan Gates & Melinda Foundation; Mohammad Yunus meninggalkan Grameen Bank berikut aktivitasnya memberdayakan kaum papa; Soekarno meningalkan Kemerdekaan Indonesia.
Tapi warisan para pemimpin besar itu tak hanya sebatas itu. Ada warisan lain yang justru lebih substansial. Soekarno adalah pemimpin hebat karena seluruh hidupnya diabdikan dan didedikasikan untuk menghasilkan dan (setelah mati) meninggalkan warisan tak ternilai, kemerdekaan Indonesia. Namun bagi saya warisan sesungguhnya yang ditinggalkan oleh Soekarno adalah para pemimpin penerusnya yang mengisi dan "merawat" kemerdekaan itu.
Warisan terbesar Soekarno sebagai pemimpin adalah "murid-murid"-nya, yaitu para pemimpin penerus bangsa yang selalu terinspirasi untuk mewujudkan impian-impiannya mengenai kemerdekaan Indonesia yang sesungguh-sungguhnya. Jadi warisan Soekarno masih cacat dan belum paripurna kalau para pemimpin yang meneruskannya berperangai bukan pemimpin: suka korupsi, selfish, rakus kekuasaan, greedy, munafik. Leader must create other leaders, pemimpin harus menghasilkan pemimpin lain yang lebih hebat darinya. Sama dengan guru harus menghasilkan murid-murid yang lebih hebat darinya.
Lalu, seperti juga guru, seorang pemimpin juga harus mentransfer dan meng-copy KSA yang dimilikinya kepada orang-orang yang dipimpinnya (followers). Itu atinya, ia harus memainkan peran role modeling bagi para follower-nya. Untuk memainkan peran ini maka seorang pemimpin harus beres KSA-nya. Bagaimana kalau KSA-nya belepotan? Ya, tentu saja si pemimpin akan kehilangan kredibilitasnya, karena: he doesn't practice what he preach. Dan kita tahu kredibilitas adalah "nyawanya" kepemimpinan. Anda nggak kredibel di mata anak buah, maka habislah Anda.
Dan akhirnya, seperti halnya guru, seorang pemimpin haruslah serve & sacrifice. Pemimpin yang ikhlas selalu melayani dan berkorban agar orang-orang yang dipimpinnya berkembang. Tugas berat seorang pemimpin adalah mentransformasi para follower-nya dari good menjadi great, dari orang biasa-biasa saja menjadi orang luar biasa. Seorang pemimpin harus memfasilitasi dan menjadi enabler bagi para follower-nya untuk sukses, untuk make a difference, untuk make a legacy.
Sama dengan guru, pemimpin yang jujur dan ikhlas peduli pada follower-nya ketimbang dirinya sendiri. Hakiki seorang pemimping adalah pelayanan, pengabdian, dan dedikasi diri kepada orang lain. Pekerjaan memimpin adalah sebuah compassion. Kalau sudah begini kita menjadi sadar bahwa pekerjaan seorang pemimpin demikian mulianya. Karena itu pemimpin yang jujur dan ikhlas seharusnya pantas mendapatkan penghargaan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa-seperti halnya guru.

ISLAM kok PACARAN ?!…


ISLAM kok PACARAN ?!…
Oleh : fatra kurniawan dari berbagai sumber islami
Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa. Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah. Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ? Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik !
Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : “Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: “Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya.” Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: “Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati.”
Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba “berdalih” dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : “Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya.” Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi “dunia berpacaran” mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi “perahu pacaran” itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan “mencintai karena Allah” tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai “mencintai karena Allah ?” Jawabnya jelas tidak ! Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.
Pacaran dalam Islam,,,??? Gimana sich sebenernya pacaran itu, enak ngga’ ya? Bahaya ngga’ ya ? Apa bener pacaran itu harus kita lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu? Memiliki rasa cinta adalah fitrah, Ketika hati udah terkena panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya dahsyat  yang diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah cinta. Sampe’ akhirnya pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti’in cinta, bisa buat perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta ditolak dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti, kalo ngga’ terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (haajatul ‘udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas, buang hajat. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo’ kagak terpenuhi manusia ngga’ bakalan mati, cuman bakal gelisah sampe’ terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan (gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu : Gharizatul baqa’ (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut, cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui. Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama) yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada sesuatu yang layak untuk disembah. Gharizatun nau’ (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya) manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara, kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif islam. In fact, pacaran merupakan wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan, pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks). Islam sudah jelas menyatakan: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q. S. Al Isra’ : 32)
Seringkali sewaktu lagi pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do’i. Pokoknya aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So….kesimpulannya PACARAN ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.
Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu.”(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi: “Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya.” (HR. Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: “Hendaklah kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar Allah akan menutup rapat matamu.”(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA’ (ketentuan) Allah, dimana manusia ngga’ punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur’an: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”
Wallahu A’lam bish-Showab