Jumat, 23 Mei 2014

Aktivis ; Sebuah keharusan, Bukan Pilihan

Aktivis : Sebuah Keharusan,Bukan Pilihan
Saat anda pertama kali mendengar kata “aktivis”, imajinasi seperti apa yang muncul dalam benak anda ?. Apakah sosok orang yang kritis, idealis, lama lulus, urakan, jarang kuliah dan kerjaannya demo dan ngomongin politik melulu ?. Kebanyakan dari kita sekarang ini memandang aktivis sebagai sosok yang berbeda dari orang kebanyakan,untuk tidak menyatakan “orang aneh”.
Namun, jika kita pikirkan lebih lanjut, muncul sebuah pertanyaan berikutnya yakni apakah setiap orang yang memilih jadi aktivis pasti identik dengan hal-hal di atas ?. Bukankah banyak aktivis yang menyelesaikan studi tepat waktu dengan nilai yang memuaskan, berpenampilan rapi dan tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai seorang aktivis. Artinya, beberapa aktivis yang berpenampilan urakan, jarang kuliah dan lama lulus adalah sebuah pilihan pribadi dan bukan sebagai konsekuensi logis menjadi seorang aktivis. Dalam hal ini perlu kita jeli membedakan hakikat sebagai seorang aktivis dengan cara seorang individu memilih cara berperilaku.

Defenisi Aktivis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2002), pengertian aktivis adalah individu atau sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya. Artinya, dari defenisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa aktivis merupakan orang yang bergerak untuk melakukan sebuah perubahan dan memiliki wadah sebagai alat untuk mencapai tujuan perubahan tersebut.
Sebagai seorang mahasiswa, menjadi aktivis adalah sebuah panggilan moral. Mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control sebenarnya adalah penyambung lidah rakyat. Konsekuensinya, tugas mahasiswa tidak hanya belajar dan sibuk dengan tugas-tugas, melainkan juga membumi ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menyiratkan aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari konsep ini dapat terlihat jelas bahwa ruang lingkup mahasiswa adalah studi dan masyarakat.
Banyak pemimpin besar negara ini yang dulunya mengambil peran sebagai aktivis. Sebut saja Presiden Soekarno yang mendirikan GMNI, Jusuf Kalla (HMI), Muhaimin Iskandar (PMII), Ketua KPK, Abraham samad (HMI), Cosmas Batubara (GMKI), Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid (HMI), TB. Silalahi (GMNI), Suryadharma Ali (PMII) Anis Baswedan (HMI) dan banyak lagi yang menjadi pengabdi bagi bangsa ini. Mereka dikenal dan belajar sejak mulai dari kampus. Untuk itu sangat penting bergabung dengan organisasi sejak awal menjadi mahasiswa.

Tipe-tipe Aktivis
Karena defenisi aktivis adalah orang yang aktif melakukan perubahan,maka kita akan banyak menemui ragam tipe-tipe aktivis sesuai dengan ruang lingkupnya. Orang-orang yang aktif memperjuangkan hak mahasiswa disebut aktivis mahasiswa. Ada juga aktivis buruh, aktivis yang concern terhadap marginalisasi terhadap perempuan disebut aktivis perempuan. Ketika anda bertemu dengan orang yang giat menyelamatkan lingkungan, dia disebut sebagai aktivis lingkungan. Jadi, kita jangan terjebak dan terkurung dalam pemikiran bahwa seorang aktivis adalah aktivis yang mengurusi politik semata.
Pada kesempatan ini kita akan membatasi pembahasan sebagai seorang aktivis mahasiswa (kampus). Seperti kita ketahui, fenomena banyaknya mahasiswa yang tidak paham akan peran dan fungsinya. Hal ini bisa kita lihat dari salah satu contoh kecil saja. Kegiatan yang berbau sosial politik yang diadakan organisasi intra kampus hampir kehilangan peminat. Beda jika ada acara hiburan. Ratusan mahasiswa tumpah ruah memadati acara berlomba berebut tempat. Bukan berarti acara hiburan tidak penting, namun kita harus paham apa status sekarang dan apa kewajiban kita menyandang status tersebut.
Kita bisa mengenal tipe mahasiswa yang “ kupu-kupu” alias kuliah pulang-kuliah pulang. Ada juga istilah 3K yang diartikan kampus, kantin dan kos-an. Malah ada yang diberi label kunang-kunang (kuliah nangkring-kuliah nangkring) dan kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat ). Secara sederhana kita bisa membagi karakterisktik mahasiswa ke dalam 3 jenis. Pertama, study oriented. Orang-orang yang mementingkan kuliah dan kurang berminat bergabung dengan organisasi. Kedua, hedonis. Mereka dikenal sebagai anak-anak yang mementingkan kenikmatan dan kesenangan. Dan yang ketiga, tipe aktivis, yakni orang-orang yang memiliki idealisme akan sebuah perubahan dan biasanya tergabung dalam suatu organisasi.
Sebenarnya kita tidak perlu terjebak pada dikotomi (pemisahan) antara ketiga tipe mahasiswa tersebut. Dalam rumus saya, menjadi aktivis adalah sebuah keharusan. Sedangkan menjadi hedon dan study oriented adalah pilihan. Mengapa bisa begitu ?. Orang-orang aktivis tidaklah sekaku yang orang pikirkan. Kerjaannya berpikir dan bergerak terus. Padahal aktivis juga ada yang study oriented dan juga suka yang hedon. Sementara orang-orang Studi oriented dan hedonis belum tentu aktivis. Maksud saya, sebagai seorang aktivis, kita juga dituntut untuk selalu belajar, dan sebagai manusia, aktivis juga butuh kesenangan, seperti jalan-jalan,nongkrong dan banyak lagi. Jadi, dengan memilih menjadi aktivis anda juga bisa mendapat IPK yang tinggi sekaligus bisa menikmati hari-hari.
Keuntungan Menjadi Aktivis
Menjadi aktivis tidaklah menjamin anda memperoleh keuntungan materi. Sekali lagi, aktivis adalah kerja sosial yang sifatnya non profit (tidak mencari keuntungan) dan lebih kepada panggilan moral. Namun banyak keuntungan-keuntungan yang sifatnya sebagai sebuah investasi untuk membangun masa depan. Misalkan, pengalaman organisasi. Dengan memiliki pengalaman organisasi, kita bisa belajar mengelola orang dan kegiatan. Hal ini sangat penting karena kita sebagai mahluk sosial tidak bisa lepas dari organisasi. Kemudian, dengan menjadi aktivis, kita bisa mengembangkan diri dan mengasah keterampilan. Untuk menghadapi tantangan dunia kerja saat sekarang ini, keterampilan mendapat porsi utama yang harus dimiliki pelamar. Seperti kepemimpinan, mahir berbicara di depan umum, team work, kepercayaan diri, mengforganisasi rapat, menganalisa perilaku orang di sekitar dan banyak lagi. Aktivis juga memiliki jaringan yang luas. Hal ini sebagai konsekuensi aktivis untuk selaalu berinteraksi dengan orang lain (pemerintah maupun masyarakat ). Jaringan ini tentu sangat bermanfaat dikala kita butuh kerja sama maupun pertolongan. Patut di ingat bahwa kampus tidak mengajarkan keuntungan-keuntungan tersebut. Kampus hanya memberi kita teori.
Tantangan dan Kendala
Melihat tingkat persentase jumlah aktivis sangat kecil, menjadi pertanyaan mengapa mahasiswa yang diamanatkan sebagai penyambung lidah rakyat justru malah anti terhadap hal-hal yang berkenaan dengan aktivis. Untuk menumbuhkan kesadaran bahwa aktivis adalah sebuah keharusan, pertama-tama kita jangan terjebak oleh citra aktivis yang beredar di masyarakat. Contoh, dikarenakan aksi anarkis segelintir aktivis, kita langsung pukul rata bahwa aktivis identik dengan anarkis. Pikiran seperti ini yang harus kita pilah-pilah. Kedua,menyadari tugas dan peranan sebagai mahasiswa. Mahasiswa berada pada kelas menengah dalam struktur sosial yang menjembatani masayarakat dan pememrintah.Untuk itu kita tidak bisa lepas dari tugas-tugas pengabdian msayarakat. Dan untuk itu butuh sebuah organisasi sebagai alat mencapai tujuan.
Keempat, memilih organisasi sesuai dengan kesamaan dan ketertarikan. Ada organisasi intra kampus seperti BEM dan ada juga organisasi ekstra kampus yang banyak mencetak pemimpin bangsa seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ) yang berhaluan Nasionalis, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam ), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Isalam Indonesia), LMND (Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan banyak organisasi ekstra kampus lain yang bisa menjadi wadah bagi teman-teman untuk berdinamika.

Senin, 06 Januari 2014

Peran Mahasiswa Kesehatan Masyarakat sebagai Agen MDGs

Mahasiswa adalah calon penerus bangsa, tuas-tuas penggerak dalam kehidupan. Para generasi yang akan menjalankan negara ini di masa mendatang. Mahasiswa bukan lagi seseorang yang hanya memegang tanggung jawab terhadap dirinya sendiri namun juga memegang tanggung jawab penuh terhadap lingkungannya dan juga masyarakat luas. Dengan tuntutan yang besar, mahasiswa harus sudah menunjukkan kontribusinya dalam memajukan negeri untuk meraih kesejahteraan. Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnya bila mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat.
Peran perguruan tinggi penting karena merupakan rumah dari pakar dalam berbagai bidang ilmu dan sesuai misinya dapat menyumbang secara substansial pada upaya pencapaian target MDGs melalui kegiatan pengajaran, penelitian dan dalam menerapkan ilmunya untuk keperluan masyarakat.
Saat ini kita berada di akhir tahun 2013. Sebuah tahun yang sangat dekat dengan tahun 2015. Tahun 2015 adalah tahun dimana seluruh masyarakat dunia mendukung atas pencapaian suatu tujuan ambisius. Tujuan ini dinamakan Millenium Development Goals (MDGs).
Mahasiswa kesehatan diyakini memiliki peran yang sangat penting dalam menyambung tali kesehatan masyarakat Indonesia di masa yang akan datang. Dan potensi peran yang besar ini bisa dijadikan semacam cambuk untuk bisa berperan sejak masih kuliah. MDGs bisa menjadi trigger sehingga seorang mahasiswa kesehatan bisa memberikan kontribusi positif bagi percepatan pencapaian target MDGs. Setidaknya ada 3 peran kontributif yang bisa dimainkan seorang mahasiswa kesehatan demi tercapainya MDGs yaitu agent of health, agent of change, dan agent of development.
Pertama, sebagai agent of health. Apabila kita langsung kaitan dengan MDGs maka seorang agent of health merupakan garda terdepan dalam membina hubungan yang baik kepada masyarakat. Tentunya dengan tujuan agar masyarakat menjadi lebih peduli dengan kesehatan mereka dan pada akhirnya mereka faham bahwa kesehatan adalah suatu hal yang mahal. Misalnya dengan akses nya yang lebih leluasa dalam bidang kesehatan maka mahasiswa akan lebih mudah melakukan berbagai kegiatan yang merangsang masyarakat akan pentingnya kesehatan.
Kedua, sebagai agent of change. Tentunya kita mengharapkan kualita kesehatan masyarakat Indonesia terus meningkat dan mencapai MDGs empat tahun yang akan datang. Mahasiswa bisa menjadi penggerak perubahan tersebut. Misalnya, dengan pengetahuannya akan bahaya merokok seorang mahasiswa kesehatan mengadakan seminar, kampanye bebas rokok, sampai dengan aksi long march di Hari Tanpa Tembakau sedunia yang jatuh pada 31 Mei.
Ketiga, sebagai agent of development. Peran ini bersinergi dengan peran agent of change. Setiap usaha yang dilakukan demi menuju perubahan yang lebih baik, utamanya menuju MDGs, bisa terus dipertahankan dan dikembangkan pada masa yang akan datang. Tentunya MDGs bukanlah tujuan akhir dari setiap tujuannnya. Mahasiswa kesehatan baik saat ini dan seterusnya mempunyai tanggung jawab meneruskan cita-cita MDGs.
Diluar semakin dekatnya akhir dari program ambisius Millenium Development Goals pada tahun 2015, saat ini mahasiswa memiliki peranan penting yang setidaknya dapat membantu mempercepat terwujudnya MDGs. Secara khusus bagi mahasiswa kesehatan, ia memiliki peran yang besar terkait dengan peranannya sebagai agent of health, agent of change, dan agent of development. Dari setiap perannya tersebut maka bukan tidak mungkin program MDGs bisa terus bergulir walaupun telah melewati tahun 2015 dan akan muncul MDGs-MDGs dalam rentang tahun selanjutnya. Maka Indonesia yang sehat akan segera hadir dihadapan masyarakat Indonesia, tentunya dihadirkan oleh seorang mahasiswa kesehatan Indonesia.

Organisasi Primordialisme Di Kampus



Organisasi Primordialisme Di Kampus


Indonesia merupakan satu – satunya negara yang unik, mengingat beberapa hal seperti negara kepulauan dan negara yang paling multi etnis, Multi agama dan kepercayaan (termasuk yang tidak diakui negara), multi partai dan lain sebagainya. Hal – hal yang unik ini tidak dimiliki oleh negara – negara lainnya. Ada lebih dari 300 suku (prediksi) yang mendiami kawasan nusantara ini. Sebut saja suku Batak, Suku Jawa, suku Nias, Mentawai, Minang, Madura, Toraja, minahasa dll. Dalam lingkup provinsi Bengkulu, suku – suku yang ada antara lain suku serawai, suku Rejang, suku lembak, Melayu Bengkulu serta suku – suku pendatang seperti Minang, Jawa, Batak, Bugis dll. Suku – suku ini banyak yang telah berasimilasi dengan suku – suku lainnya baik melalui perkawinan campuran atau melalui interaksi dalam tingkat RT dan RW. Sehingga tidak hanya mempengaruhi faktor bahasa saja namun juga mempengaruhi faktor budaya.
Jika kita melirik Indonesia Pasca diberlakukannya otonomi daerah, maka bermunculanlah organisasi kesukuan baik dilingkup masyarakat umum maupun di lingkup kampus melalui organisasi kepemudaan yang anggotanya adalah suku – suku tertentu (homogen) ataupun berdasarkan pada posisi domisili asal mereka. Jargon – jargon putra daerah pun selalu dilagukan saat menjelang pemilukada. Saya tidak mengatakan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah diberlakukan belum ada organisasi kesukuan. Namun geliat itu sangat meningkat pasca otonomi daerah ini.
Dalam kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB), ada beberapa Organisasi mahasiswa kesukuan yang beberapa diantaranya saya ketahui. Diantaranya Perkumpulan mahasiswa Rejang minang, Jawa,  Kaur,  Selatan,  Seginim dan air nipis serta sunda. Saya tak tahu apakah jumlah itu bertambah atau berkurang atau ada organisasi berbasis kesukuan lainnya yang saya belum ketahui. Hal ini menandakan semangat etnisitas sangat tinggi di kampus UMB, mengingat jauhnya daerah asal dan rasa senasib sepenanggungan yang dirasakan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kota Bengkulu terutama mahasiswa UMB adalah multi etnik dan beragam, serta adanya mobilitas mahasiswa dalam jumlah yang besar dari daerah kabupaten ke kampus ini.
Dalam pandangan saya adanya perkumpulan mahasiswa berdasarkan kesukuan ini memiliki dampak positif dan dampak negatif dalam perkembangannya. Hal – hal positif yang saya sorot adalah bagaimana menumbuhkan semangat untuk membangun daerah bersama selepas dari kampus, semangat kekeluargaan, semangat gotong royong, semangat untuk menggali nilai luhur budaya dan kearifan lokal yang akan membentuk manusia yang tidak lupa dari mana ia berasal, dibesarkan dan dilahirkan. Penanaman nilai – nilai budaya dan kearifan lokal yang digalakkan pemerintahpun, akan cepat terealisasikan melalui perkumpulan kesukuan ini. Namun nilai – nilai positif ini pun bisa tergerus dengan nilai – nilai negatif jika tidak dikelola dengan bijaksana. Politik adalah salah satu hal yang dapat menegatifkan nilai – nilai positif tersebut. Seperti kita ketahui, kumpulan – kumpulan kesukuan merupakan suatu hal yang sangat potensial dalam menggalang massa atau suara massa. Terutama dalam pemilukada ataupun pemilihan ketua BEM. Terkadang anggota – anggota perkumpulan hanya dimanfaatkan untuk mendulang suara, dan mendulang prestise. Sehingga tujuan – tujuan luhur dari didirikannya perkumpulan kesukuan ini tergerus dengan niat ingin berkuasa dan lebih tinggi dari suku – suku lainnya didalam kampus. Hal ini jelas akan memecah belah kesatuan bangsa kita yang multi etnis dengan rasa primordialisme yang berlebihan. Belum lagi memandang buruk suku tertentu dengan stereo Type yang sering dialamatkan pada mereka. Justru hal ini akan memicu konflik horizontal di daerah rantau bahkan didaerah asal.
Mengakhiri catatan singkat ini ada beberapa hal yang saya harapkan bagi perkumpulan mahasiswa berbasis kesukuan di kampus ini, yaitu :
  1. Hindari prasangka negatif terhadap suku tertentu (stereo Type) dan rasa fanatik dan primordial yang berlebihan yang akan memicu konflik horizontal.
  2. Terkadang kita memandang potensi perkumpulan mahasiswa berbasis kesukuan adalah hanya sebatas pada mobilisasi suara dalam pemilukada ataupun pemilihan ketua BEM. Saya rasa ada potensi – potensi dan manfaat lainnya yang bisa kita gali dari perkumpulan kesukuan ini. Diantaranya forum – forum ilmiah, budaya dan pengabdian masyarakat terutama pada daerah asal sangat berguna dalam otonomi daerah
  3. jangan sampai perbedaan pandangan politik antara satu kelompok dengan kelompok lain menyebabkan pertikaian yang akan memecahbelahkan persatuan dan kesatuan kita.
  4. Belajarlah dari Momen sumpah pemuda dimana para pemuda berhasil menyingkirkan egosentris kesukuan menjadi paham kebangsaan yang utuh. Kita harus belajar banyak dari Jong sumatera, Islamiten Bond, Jong Celebes, jong java dll. Maka dari itu pelajaran SEJARAH SANGAT PENTING
  5. Sesungguhnya keberadaan perkumpulan mahasiswa berbasis kesukuan ini sangat memiliki potensi yang besar dalam era otonomi daerah. Mahasiswa dari daerah rantau mungkin bisa membincangkan dan membuat grand desain pembangunan di daerah selepas mereka selesai dalam studi.
  6. Banyak orang yang tergabung dalam perkumpulan mahasiswa berbasis kesukuan dan cinta pada daerahnya namun, selepas kuliah bukan kembali ke daerah asal, namun kembali merantau dan menetap didaerah lain. Sedangkan pembangunan daerah membutuhkan tenaga – tenaga terdidik dan muda. Saya tentu saja akan bertanya mana semangat kesukuan yang anda punya dulu ?
  7. jangan hanya memandang perkumpulan kesukuan hanya dari perspektif politik, sudah saatnya memandang dari segi budaya, sosial, agama, ekonomi, kesejarahan dan lain – lain. Karena jujur saja ketika ditanya tentang sejarah daerah masing – masing banyak yang tidak tahu. Historia vitae magistra !
  8. Sangat baik sekali jika anggota organisasi kesukuan ikut dalam organisasi lain yang sifatnya menasional seperti OKP dan ORMAWA atau LSM yang ada. Hal ini akan menjauhkan sikap mengisolir diri dan meluaskan pandangan dan pemikiran.
Mudah- mudahan catatan singkat ini mampu menjadi sebuah rekomendasi bagi kita bersama terutama yang tergabung dalam anggota sebuah organisasi mahasiswa berbasiskan kesukuan..