Sabtu, 22 September 2012

Menjadi Aktivis Akademis, Kenapa Tidak ?

Menjadi Aktivis Akademis, Kenapa Tidak ?
ini juga bukan dari asli tulisan saya pribadi,tetapi sesuai menurut pengalaman saya pribadi juga bisa benar. semoga dapat menjadi referensi temen-temen mahasiswa baru.
ok
Lingkungan kampus merupakan miniatur dari keadaan masyarakat. Begitu banyaknya prinsip dan ideology sehingga
membuahkan sikap individualististis yang semakin tinggi. Para mahasiswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memilih ilmu apa yang akan mereka dapatkan, begitu juga dengan berapa lama waktu yang akan mereka habiskan di kampus. Terkadang kita para mahasiswa dihadapkan kepada pilihan yang sulit dan dilematis di dalam dunia kampus, yaitu antara menjadi akademisi atau aktivis.

Mendengar kata “akademis” secara langsung kita sudah tahu bahwa mahasiswa yang mendapat predikat akademis adalah mereka yang rajin kuliah, cerdas, aktif dalam diskusi, suka membaca buku, dan indeks prestasinya cumlaude. Selain tipe mahasiswa akademis, ada juga tipe mahasiswa aktivis. Mendengar kata “aktivis” pasti kita tahu bahwa mereka yang mendapat predikat ini adalah orang yang aktif di organisasi, baik di kampus maupun di luar kampus. Kesehariannya sibuk dengan organisasi, mulai rapat, membuat acara, mengurus proposal, seminar, diskusi, bahkan melakukan aksi bila memang dibutuhkan.

Menjadi aktivis memang hal yang membanggakan, selain akan memiliki banyak teman, pasti akan banyak pengalaman yang tidak didapatkan di bangku perkuliahan. Tidak semua mahasiswa mau menjadi aktivis. Alasannya sederhana yaitu tidak diizinkan orang tua, takut kuliah terlantar, takut indeks prestasi berantakan, atau bahkan malas karena masih senang dengan jalan-jalan, hura-hura, dan menikmati masa muda untuk senang-senang

Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa bila menjadi aktivis, maka kedepan kuliahnya akan terlantar, dan berimbas pada indeks prestasinya yang berantakan. Pendapat tersebut memang ada benar dan salah. Benar karena memang ada sebagian aktivis yang jarang masuk kuliah dan indeks prestasinya hancur berantakan. Salah karena memang ada juga aktivis yang tetap rajin kuliah dan indeks prestasinya baik.

Seorang aktivis terakadang memang tidak bisa disamakan dengan mahasiswa lainnya yang hanya punya dua orientasi yaitu kampus dan kos. Ketika para mahasiswa tidur-tiduran di kos dengan santainya, para aktivis masih disibukkan dengan berbagai agenda. Ketika mahasiswa lain hanya pusing dengan tugas-tugas dari dosen, maka para aktivis menambah satu porsi dalam pemikiran mereka untuk memikirkan kemajuan dan kebaikan ke depannya disamping mereka juga memikirkan tugas-tugas dari dosen.

Hal ini bukanlah sebuah kerja yang mudah dan murah untuk dilakukan. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan seorang aktivis, berkorban fisik, harta , waktu, pemikiran, bahkan tidak jarang kesempatan untuk pulang kampong bagi mereka yang merantau. Akan tetapi semuanya itu bukanlah menjadi suatu alasan bagi aktivis untuk terlena dengan urusan organisasi, karena selain amanah yang mereka terima di organisasi masing-masing, tetapi mareka juga mempunyai amanah yang besar kepada orang tua untuk menyelesaikan kuliah dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, tiap aktivis perlu mempunyai prinsip AKTIVIS AKADEMIS.

Artinya kita menomorsatukan aktivitas di organisasi dan juga mengutamakan akademis kita sebagai seorang mahasiswa. Aktivis dan akademis bukanlah kedua hal yang saling bertentangan, justru keduanya bisa saling berjalan beriringan dan saling mengisi kekurangan. Menjadi aktivis yang aktif di organisasi sekaligus menjadi akademis yang cerdas, rajin, dan memiliki indeks prestasi tinggi bukanlah suatu hal yang mustahil. Kemampuan mengatur waktu adalah kunci suksesnya seorang aktivis akademis.

Seorang mahasiswa biasa yang mendapat nilai akademis bagus adalah hal biasa, karena mempunyai waktu yang luang untuk mengulang ulang pelajaran, namun aktivis yang mempunyai nilai akademis yang bagus akan lebih disegani dan dijadikan referensi bagi mahasiswa lain.

Menjadi Aktivis Akademis, Kenapa Tidak ??

Minggu, 02 September 2012

Urgensi Soft Skills dalam Ospek

Urgensi Soft Skills dalam Ospek
BULAN September, seperti biasa seluruh perguruan tinggi di bengkulu khususnya di kampus ku Univ Muhammadiyah Bengkulu melaksanakan orientasi studi dan pengenalan kampus (Ospek). Dari tahun 2011 kemarin saya menjadi panitia oepek yg dikenal MATRIKULASI bersama rekan2 Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Republik Mahasiswa UMB, dan waktu itu adalah hal yg sanagt luar biasa. Kemudian thn ini 2012 sy jg masih menjadi panitia OSPEK yg kini di ganti menjadi MASTA, walaupun nggak bersama rekan2 seperjuanganku BEM REMA UMB thn kemarin. Hmmmm,,,,yg penting saya ingin berbagi kepada para calon mahasiswa,,,,
OSPEK,,,,,Orientasi dengan kekerasan mulai ditinggalkan, dan bergeser kepada hakekat tujuan Ospek itu sendiri. Kewenangan Ospek ini pun kini ditangani pimpinan bidang kemahasiswaan, sehingga akan berdampak pada muatan nilai-nilai kegiatan itu.
Ospek model lama, dan pelaksanaan diserahkan kepada mahasiswa senior didominasi unsur kekerasan dalam upaya menanamkan nilai kedisiplinan, jujur, pantang menyerah, mempercepat terjadinya jalinan komunikasi, jiwa mandiri dan tidak manja, mental berani dan percaya diri, rasa cinta almamater dll. Namun, dalam pelaksaannya banyak cara menyimpang, berbau kekerasan, dan komersial. Misalnya penugasan: mengumpulkan delapan batang rokok dengan merek tertentu, mengumpulkan bakmi instan, sisir berjumlah prima, korek berwarna biru, minuman berwarna biru, pisang raja ganthet dan lai-lain.Tugas ini menguras uang dan tenaga. Dalam pelaksanaannya pun bernuansa kekerasan ala militer. Kesalahan selalu dicari-cari, dibentak-bentak dan nuansa sewenang-wenang senior kepada yunior sangat kental sekali. Belum lagi hukuman, misal, menatap matahari selama beberapa menit. Memasuki tahun 2008, fenomena ospek model lama semakin hilang dan berganti dengan berbagai macam cara, sesuai dengan konsep perguruan tinggi.Nuansa Ilmiah lebih mendominasi.
Permasalahannya, apakah konsep ini hasilnya lebih baik. Secara positif model ini mencerminkan sisi ilmiah, lebih aman karena tidak ada kekerasan dan lebih hemat. Tetapi cara ini dinilai gagal dalam menanamkan nilai disiplin, jujur, sopan santun, rendahnya cinta almamater dan daya juang lemah. Keengganan mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan juga dianggap produk dari ospek model baru. Ternyata nilai-nilai yang dinyatakan kurang tersebut adalah nilai-nilai soft skills. Bagaimana agar model ini tetap terbebas dari kekerasan tetapi mampu menanamkan nilai-nilai soft skills.
Dasar Perilaku
Soft skills adalah sikap dasar perilaku. Yakni keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, meliputi nilai motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap.  Atribut ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berpikir, berkata, bertindak dan bersikap. (Illah Sailah, 2007)
Dalam buku Lesson from The Top karya Neff dan Citrin (1999), kebanyakan menyebutkan pentingnya memiliki keterampilan lunak sebagai syarat sukses. Yang paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis, melainkan kualitas diri termasuk dalam kategori soft skills atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills).
Agaknya Ospek belum memberikan nilai ini. Sebagian besar menu masih berupa pengembangan hard skills dan disajikan dengan metode ceramah melulu, kering dan membosankan.
Pengembangan soft skills mulai mendapat perhatian. UMB Ospek sudah penuh dengan muatan soft skills. Materinya berkaitan dengan faktor-faktor untuk sukses baik dalam belajar maupun nanti saat bekerja. Ada tiga faktor sukses pada masa Ospek adalah learning skills, thinking skills dan living skills. Faktor-faktor ini yang dikembangkan di UGM untuk mengisi Ospek.
Learning skills adalah keterampilan agar mahasiswa selalu dapat mengembangkan diri melalui proses belajar berkelanjutan. Belajar tidak hanya sebatas saat kuliah, tetapi bagaimana memanfaatkan sarana-prasarana di kampus, seperti perpustakaan, internet, laboratorium dll. Peningkatan learning skills dilatih dengan teknik belajar benar, pemetaan pikiran, dan teknik membaca.

Fokus dari thinking skills adalah peningkatan kemampuan menyelesaikan persoalan, pengambilan keputusan. Sedangkan living skills adalah keterampilan mahasiswa untuk beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik lingkungan kampus maupun masyarakat.  Kini mahasiswa baru mengadapi tiga masalah yakni kemandirian, problem seksualitas dan perubahan lingkungan. Mereka dituntut mandiri mengatur waktu, uang maupun kepercayaan.  Dorongan seksualitas akan menjadi masalah tersendiri dalam usia-usia matang secara biologis,
sehingga mereka harus menyadari kesakralan seksualitas dan berbagai dampak dari kegagalan mengatasi dorongan seksualitas tersebut.
Keseimbangan
Peningkatan kompetensi lulusan berbasis soft skills sangat mendesak, karena pertama untuk memenuhi kebutuhan para pengguna lulusan perguruan tinggi di dunia kerja dengan orientasi produktivitas tinggi. Kedua, untuk mewarnai dunia kerja ke arah perbaikan karakter bangsa.
Pencanangan visi pendidikan untuk menghasilkan insan cerdas dan kompetitif tidak mungkin tercapai tanpa mengembangkan soft skills.
Alasannya sejak dahulu belum terwujud kejayaan bangsa di bidang ekonomi, hukum, politik, dan moral. Ratusan ribu sarjana ekonomi dihasilkan tiap tahun, namun ekonomi masih belum membaik.
Begitu pula ratusan ribu sarjana hukum dihasilkan tiap tahun, tetapi hukum masih belum bisa ditegakkan.
Ketidakseimbangan antara materi hard skills dan soft skills dalam pelaksanaan ospek perlu segera diatasi, antara lain dengan memberikan bobot lebih pada materi pengembangan soft skills


Muda-mudahan OSPEK/MASTA tahun ini baik seperti MATRIKULASI, atau bahkan bisa lebih baik,,,,amin
welcome to UMB fastbiqul khairat mahasiswa baru,,,
salam mahasiswa..!!!
by fatra kurniawan.