Mengkritisi Pelayanan Kesehatan Kita
Belum banyak yang berubah. Pada akhirnya kita selalu mesti mengurut dada menyaksikan penelantaran pasien-pasien miskin di rumah-rumah sakit mewah
atau mendengarkan keluh-kesah mereka yang tak kunjung sembuh setelah
sekian lama berdiam di rumah sakit. Pada akhirnya kita acap kali juga
akan menjadi terbiasa dan semakin mahfum akan mahalnya biaya pelayanan kesehatan
di negeri kaya raya ini, atau membaca berita malapraktik oleh dokter
dan paramedik lain yang nyaris tak tersentuh hukum di negara dengan
produk perundang-undangan berlimpah ini.
Di negeri ini, kesehatan dengan segala aspeknya memang belum menjadi
primadona. Alih-alih untuk mencapai tujuan pembangunan nasional yang
salah satunya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, mengurus
persoalan hukum saja kita masih keteteran. Padahal itu menjadi tulang
punggung penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan penyehatan
warga negara.
Para pembesar negeri ini, diakui atau tidak, sudah semakin
berkepribadian instant; mengejar hasil pembangunan yang sekejap bisa
dipandang mata. Sehingga urusan yang sedikit ruwet seperti pengembangan
sumber daya manusia melalui peningkatan upaya kesehatan dan
aksesibilitas pendidikan, menjadi urutan kesekian dalam etalase program
pembangunan yang sesungguhnya, jauh di bawah urusan politik, militer dan
ekonomi makro.
Padahal, mungkin kita semua juga mengetahui, bahwa kesehatan dan
pendidikan menjadi prasyarat eksistensi kita, eksistesi bangsa ini. Pada
gilirannya, membincang negeri ini, kita sekaligus akan selalu
membicarakan kebobrokan demi kebobrokan. Bukan merupakan salah negara,
melainkan salah para penyelenggaranya; mereka mengetahui tetapi tidak
memahaminya, mengiyakan tetapi kemudian tidak menjalankannya.
Kegilaan
Dalam diskursus pendidikan kedokteran jiwa, fenomena
(pemerintahan) seperti ini sudah termasuk ke dalam gangguan jiwa. Sebuah
keadaan yang ditunjukkan dengan adanya hendaya (ketidakmampuan) menilai
realitas, ketakmampuan secara normatif menggunakan waktu secara benar
sesuai kondisinya.
Kondisi ini seakan-akan berada pada sisi abnormal dimana bisa saja
terdapat beragam halusinasi (waham) dan hendaya lainnya. Pada banyak
penderita gangguan jiwa dijumpai adanya waham dan penurunan kemampuan
tilikan (insight) secara signifikan, sehingga mereka sulit
mengidentifikasi dan mengkritisi diri secara normatif.
Birokrat-birokrat kita, mungkin lebih banyak berlaku seperti ini.
Coba saja saksikan proses pilkada di banyak tempat. Janji-janji yang
ditawarkan oleh para kandidat melalui kampanye politik merupakan bentuk
‘kebaikan” sesaat untuk mendapat image sebagai “kandidat yang baik”,
tetapi pada kenyataannya nanti tidak banyak terbayar. Tidak peduli
apakah ada kemampuan mewujudkan janji itu atau tidak, sebagian besar
mereka tetap memaksakan diri mengucapkannya kepada rakyat.
Ada semacam “waham” kebesaran yang menghiasi kepibadian mereka,
sehingga menjadi sulit untuk lebih realistis dengan kondisi mereka
sendiri.
Ada juga pejabat publik yang selalu bertindak seolah-olah penderma,
seakan bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan dengan hanya memberikan
uang kepada mereka yang miskin itu. Tidak sedikit dari mereka, setelah
merasa cukup populis, kemudian memaksa diri mencalonkan sebagai kandidat
kepala pemerintahan, meskipun kapasitasnya jauh di bawah standar.
Trend seperti ini kemudian banyak melahirkan tokoh-tokoh politik
picisan, terlahir secara premature melalui kekuatan modal, tetapi
menjadi kosong ketika ditanyakan kompetensinya. Apalagi ketika kita
menuntut bukti janji mereka untuk perbaikan hidup rakyat.
Masih banyak fenomena birokrasi lain yang dewasa ini, secara perlahan
kemudian dianggap sebagai sesuatu yang mulai lumrah oleh masyarakat
kita. Kritik yang sebelumnya selalu banyak kita dengar dan saksikan,
kini melemah dan seakan-akan malah bersikap pro (setuju) dengan realitas
bobrok ini. Mulai ada yang terbangun semacam kesepakatan psikososial
dimana fenomena kebobrokan birokrasi ini dianggap sudah bisa diterima
sebagai sebuah budaya baru yang lebih modern. Jika hendak jujur,
sebenarnya tidak berlebih juga ketika kita lantas mengakui sebagai
sama-sama gila!
Di masyarakat kita, tak dapat dimungkiri kini tengah berkembang
semacam proses reduksi nilai dan norma-norma yang terjadi secara sadar
sebagai salah satu bentuk adaptasi mereka terhadap perkembangan trend
sosial politik yang nyaris tanpa nilai (unvalueable sociopolitical trend).
Ironisnya lagi, proses ini berlangsung tanpa frame yang cukup jelas,
sehingga genaplah sudah kebobrokan negeri ini. Pada tingkatan birokrasi
pemerintahan kita merana, sementara pada lapisan masyatakat kita ambruk
dan miskin nilai. Selamat datang di negeri tanpa busana. Demikian bunyi
sebuah slogan yang sedang ditrend-kan oleh sekelompok anak muda melalui
weblog mereka.
Pelayanan Kesehatan
Dengan penjelasan di atas, menjadi mudah menebak apa yang terjadi pada
berbagai sektor pembangunan di negeri ini. Tak terkecuali kesehatan.
Sebagai sebuah elemen konstitutif yang peranannya tidak bisa
tergantikan oleh yang lain – seperti diungkapkan Amartya Sen, peraih
Nobel Ekonomi yang terkenal itu, kesehatan seharusnya diletakkan sebagai
sebuah program investatif karena menyangkut bagaimana menyiapkan sumber
daya berkualitas yang akan melanjutkan pembangunan bangsa di masa depan
melalui penyiapan generasi sehat lahir dan batin.
Untuk itu, secara normatif, pembangunan kesehatan seharusnya
dilangsungkan sebagai sebuah prioritas bangsa, tidak boleh digeser oleh
sektor lainnya. Jika ini terjadi, maka masa depan sebuah bangsa menjadi
samar, tak jelas siapa yang akan melanjutkan perjuangan membangun bangsa
selanjutnya. Mungkinkah Indonesia sudah seperti ini?
Kesehatan, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
merupakan kondisi dimana secara fisik, psikis dan sosial memungkinkan
seseorang dapat hidup secara optimal. Sehingga dengan demikian,
pelaksanaan pembangunan kesehatan harus secara sistematis dan menjadi
bagian integral dari pembangunan secara keseluruhan. Pembangunan
kesehatan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari pembangunan
pendidikan dan ekonomi misalnya, karena ada banyak faktor yang
berpengaruh dalam status kesehatan kita.
Menurut H.L Blum, seorang pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat,
status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh sedikitnya empat hal, yaitu
lingkungan, pelayanan kesehatan, perilaku dan faktor keturunan
(genetic). Sebagai sebuah sistem, pembangunan kesehatan mestinya
dilangsungkan dalam beberapa subsistem secara terencana. Merujuk Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) kita, subsistem-subsistem yang dimaksud adalah upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumber daya obat dan perbekalan kesehatan, sumber
daya manusia kesehatan, manajemen pembangunan kesehatan dan partisipasi
masyarakat.
Sebenarnya, dengan kondisi seperti di atas, pada mana mentalitas
birokrasi dan sebagian masyarakat kita yang perlahan semakin bobrok,
kita sudah bisa meramalkan bahwa sebagus apapun konsep pembangunan dan
program-programnya, pencapaiannya tidak akan optimal sesuai yang
diharapkan. Kita sesungguhnya bukan negara yang miskin kerangka
konseptual dalam perencanaan pembangunan, malah berbagai rencana program
pembangunan kita tersusun rapi di kantor-kantor pemerintahan.
Dalam bidang kesehatan ada Dokumen Visi Indonesia Sehat 2010,
juga digenapkan dengan lahirnya dokumen Sistem Kesehatan Nasional.
Kesemua itu merupakan kerangka konseptual yang tidak kalah mumpuni
disbanding dengan dokumen-dokumen perencanaan pengentasan kemiskinannya
WHO.
Tapi di mana kelemahan kita sehingga, mewujudkan sedikit saja dari
semua tujuan dalam kerangka tersebut, menjadi sangat sulit? Jawabannya
adalah pada kegilaan birokrasi kita. Pada kelemahan mentalitas birokrat
dan pemerintah kita. Ini semakin diperparah dengan minimnya pengawasan
dan kritisasi melekat yang diperankan rakyat.
Setiap tahun penyakit-penyakit infeksi yang sama kembali terjadi. Epidemi demam berdarah,
malnutrisi, malaria dan beragam penyakit lain, masih tetap bertengger
pada statistic penyakit dominan di negeri ini. Bukan karena kita “tidak
bisa” belajar dari masa lalu, tetapi menurut saya, kita memang belum
pernah “mau belajar” dari masa lalu.
Birokrat kesehatan di negeri ini keterusan asyik masygul dengan pencegahan wabah flu burung – sebuah fenomena new emerging forces, pada saat yang sama, korban DBD dan malaria berjatuhan di sana-sini. Kita tengah dihimpit sebuah fenomena double burden,
secara bersamaan menghadapi penyakit-penyakit infeksi dan degeneratif.
Akhirnya banyak daerah secara terpaksa dikategorikan mengalami Kejadian
Luar Biasa (KLB) DBD, diare dan sejumlah penyakit yang semestinya tidak
akan terulang lagi tahun ini.
Semua ini menggambarkan betapa pembangunan kesehatan
di negeri ini, dengan tidak menafikkan sector lain, mesti mendapat
prioritas dari pemerintah dan birokrat yang berkuasa, dengan sejenak
menyembunyikan kegilaan dan mentalitas bobrok selama ini. Sudah terlalu
lama rakyat menderita dan menunggu janji-janji perbaikan kesehatan untuk
semua!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar