Minggu, 11 Desember 2011
logika tanpa logistik maka anarkis
Saya mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa biasa, manusia biasa bila
menurut manusia yang lainnya, dengan sekelumit akal dan pikiran yang
terkadang gila terkadang waras dan terkadang membuat teman-teman saya
berkata ‘kamu ada ada saja,’ atau bahkan ‘mungkin kalau orang yang ndak
kenal sama kamu, dia malu kali ya jalan sam...a kamu,’ begitu kata
seorang teman saya. Saya mahasiswa, mahasiswa yang mencoba
mengais-ngais rahmat, mahasiswa yang mencoba menggapai-gapai kasih,
mahasiswa yang mencoba mencari, menemukan, memaknai hingga merasakan
apa yang namanya cinta, cinta dari Yang Maha Menciptakan. Saya
mahasiswa, mahasiswa yang berharap akan hikmah dan pelajaran, hikmah
dari sebuah perjalanan, pelajaran dari sebuah kehidupan. Berjalan
menyusuri papping-papping jalanan, saya sudah semakin berumur saja.
Belum ada prestasi, belum ada sesuatu yang berharga menurut saya yang
bisa saya berikan, persembahkan pada Nya, pada Dia yang sudah
Menciptakan saya, pada orang tua saya yang sudah melahirkan dan
membesarkan saya, pada mereka yang sudah begitu banyak membantu,
mengerti, memahami, dan berjasa pada diri ini, tidak juga oh bukan tidak
tetapi belum, ya belum, belum juga mampu memberi kontribusi yang
berarti terhadap bangsa ini. Berhenti bercerita tentang diri saya yang
sebenarnya mungkin menurut kalian saya mahasiswa yang biasa, tetapi
luar biasa menurut saya, dan entah darimana ke-luarbiasaan itu saya
menilainya. Hikmah itu saya temukan, pelajaran itu saya dapatkan di
suatu senja. Saat dimana saya berlari mengejar matahari, saat dimana
saya berjumpa dengannya dengan nafas yang terengah-engah, dengan peluh
keringat yang mengucur deras membasahi, dari kepala hingga ujung kaki
ini. ‘Hhh, hsh…hsh… jangan pergi Mentari, temani aku barang sebentar
saja di senja yang sendu ini,’ kataku Ia tersenyum, senyumnya yang
merekah mengeluarkan seberkas sinar berwarna kuning keemasan,
menyilaukan. ‘Jangan berlari, karena kamu memang tidak perlu berlari,
kenapa? karena aku menanti,’ begitu kata sang Mentari. Duduk dalam
diam, di belakang asrama sembari bercengkrama dengan sang Mentari.
Melihat burung layang-layang hilir mudik beterbangan, melintasi birunya
langit. Kadang ku lihat satu ekor saja yang bergaya di atas langit
sana, kadang berkelompok. Mereka menukik, melakukan manuver-manuver
yang cukup berbahaya bila itu dilakukan oleh seorang pilot yang
nyatanya seorang manusia. Burung-burung yang berada di atas sana
merupakan pesawat terbang tercanggih yang pernah ada di jagat raya.
‘Sore ini indah bukan?’ Begitu katanya, sang Mentari mencoba memecah
kesunyian. ‘Ya indah, kamu lihat burung-burung itu?’ kataku. ‘Ya
mereka teman-teman kecilku, ada apa dengan mereka,’ tanya sang Mentari
padaku ‘Ada sesuatu yang aku pelajari dari mereka setiap harinya.
Meskipun terkadang hal-hal yang sama, sama seperti hari-hari yang
lainnya,’ ujarku padanya. ‘Pelajaran? Apa itu?’ Mentari pun bertanya.
‘Pelajaran bahwa betapa harus bersyukurnya aku, dapat melihat mereka
terbang melayang dengan menggunakan mata yang aku punya, yang Dia
berikan. Dia baik bukan?’ ‘Tidak, Dia tidak baik tetapi Maha baik,’
begitu tambahnya. ‘Ya kamu benar,’ jawabku padanya. Kembali tenggelam
dalam kesunyian, mengamati burung-burung yang beterbangan, daun-daun
yang bergerak, air-air yang beriak-riak kecil tertiup angin kencang di
saat malam semakin menjelang. ‘Kamu harus segera pergi bukan? Sebentar
lagi malam menjelang,’ tanya ku pada Mentari senja itu. ‘Ya, kamu
benar,’ jawabnya dengan singkat. Ada sebuah kebun yang berada tak jauh
dari belakang asrama 20 meter sepertinya, terlindung oleh tembok
tinggi, tidak akan terlihat seperti apa isi di dalamnya bila dilihat
dari ketinggian 2 meter saja, tapi tidak bila dilihat dari lantai dua.
Seperti apa kebun itu, apa dan siapa saja yang berada di sana, dan
sedang melakukan apa, dapat dilihat dengan jelas dari lantai dua tempat
ku berada. Tak lama, saat-saat dimana Mentari semakin beranjak pergi.
Seorang anak kecil berseragam putih merah, entah apa yang ia lakukan,
tidak aku tidak juga Mentari tahu akan hal itu. ‘Kamu lihat anak kecil
itu?’ tanyaku padanya. ‘Ya, ada apa dengannya?’ jawabnya. ‘Menurutmu,
dia akan melakukan apa di hari yang semakin senja ini?’ aku kembali
melontarkan tanya. ‘Umm, mungkin menggembala kambing untuk kembali ke
kandangnya? Menurutmu?’ ia berbalik bertanya. ‘Sepertinya tidak, sudah
beberapa hari terakhir ini, aku tidak pernah melihat kambing-kambing
itu lagi,’ jawabku. ‘Lalu?’ tanyanya seolah tak mengerti arah
pembicaraanku saat itu. ‘Entahlah, kita lihat saja,’ begitu ujarku
padanya. Aku dan dia mengamati dalam diam, gerak-gerik anak kecil itu
tidak nampak mencurigakan. Lama, semakin jauh dia berjalan, untuk
kemudian menghampiri sebuah pohon pisang. Aku dan dia saling memandang
dalam diam, ada apa dengan pohon pisang? Tak lama, bocah kecil itu
membuka celana seragamnya, untuk kemudian duduk berjongkok di belakang
pohon pisang yang tadi dihampirinya. Dan anak kecil itu pun memulai
aktifitasnya, dengan khusyuk masyuk. Diam, saling pandang, untuk
kemudian, senyum itu aku sunggingkan, menahan sesuatu yang seharusnya
aku keluarkan. Tak lama, kami pun tertawa tergelak tidak tertahan.
Ternyata bocah kecil itu tidak ada urusan dengan si pohon pisang,
melainkan dengan hajat yang sebenarnya ingin ia tunaikan. ‘Ha…ha…ha…,’
kami pun tertawa. Masih sedia mengamatinya, bocah kecil itu bergeser
semakin ke kanan, mencoba menutupi dirinya dengan besarnya pohon pisang
yang juga tinggi menjulang. Bocah itu cukup lama untuk sekedar duduk
diam di dalam aktifitasnya. ‘Bocah kecil itu membuang hajatnya,’ begitu
kataku padanya, pada sang Mentari senja. ‘Ya, kamu benar. Hajat besar
sepertinya, karena dari tadi belum beranjak juga ia dari tempatnya,’
ujar sang Mentari. ‘Ya, mungkin kamu benar,’ balasku. ‘Lihat itu, ia
bergeser semakin ke kanan,’ ujar sang Mentari padaku. ‘Mungkin mencari
kenyamanan,’ jawabku sekenanya. ‘Kenyamanan? Maksudnya?’ tanda tak
mengerti. Ah susah juga bercakap-cakap denganmu Mentari... ‘Maksudku,
mungkin ia tidak mau ada orang lain yang melihatnya melakukan buang
hajat itu, atau ia mencari tempat yang lebih aman, agar terhindar dari
binatang-binatang yang akan menjadi pengganggu bagi aktifitasnya itu.
Seperti ular mungkin,’ jelasku ‘Bisa jadi,’ jawabnya, entah ia setuju
atau tidak dengan penjelasanku itu, aku tak tahu Lalu... ‘Ha…ha…ha,’
kami pun kembali tertawa. Lama, akhirnya bocah lelaki itu menyudahi
hajatnya, tanpa ba bi bu, tanpa air, tanpa daun, tanpa batu yang ganjil
dalam jumlahnya. Pergi begitu saja tanpa membersihkan apa yang sudah ia
lakukan, saya terdiam menahankan keheranan, bocah lelaki itu pun
hilang dari pandangan. ‘Kamu tau, ada sesuatu yang aku dapatkan dari
bocah lelaki itu,’ kataku padanya. ‘Ia sudah memberikan sebuah
pelajaran berharga padaku yang sudah lebih tua jauh beberapa tahun
darinya,’ tambahku. ‘Oh, begitu? lalu apa itu?’ tanya sang Mentari
padaku. Menghela nafas panjang, kemudian ‘ingat dengan tingkah lakunya
yang mencari tempat tersembunyi di belakang batang pohon pisang?’ aku
mencoba menjelaskan. ‘Ya, aku ingat. Lalu kenapa? Itu wajar saja
bukan?’ ia kembali bertanya. ‘Ia bersembunyi agar tidak ada orang yang
tahu apa yang sedang ia lakukan, karena bisa jadi ia merasa malu.
Tapi, sebenarnya dia tidak tahu, bahwa kamu dan aku melihat apa yang ia
lakukan itu,’ jawabku. ‘Ya kamu benar, lalu dimana pelajarannya,
karena sepertinya semua nampak biasa saja,’ sang Mentari nampaknya
masih belum juga mengerti. ‘Ada, ada pelajaran di sana. Bocah kecil
itu mengingatkan aku akan sesuatu, bahwasannya Allah selalu melihatku,
kamu dan semua hamba-hamba Nya, dalam keadaan apapun itu, kapanpun itu,
dimanapun itu. Menurut bocah itu, dengan bersembunyi di balik pohon
pisang ia akan aman, tapi ternyata kamu dan aku melihat apa yang ia
lakukan. Sama halnya dengan aku, manusia, terkadang melakukan sesuatu
hingga lupa bahwa Allah melihat apa yang aku lakukan itu. Manusia lain
memang mungkin saja tidak tahu akan hal itu, akan hal yang kita lakukan,
tapi Dia tidak begitu. ‘Benar bukan?’ jelasku padanya. Ia tersenyum
kemudian berkata, ‘Ya kamu benar.’ ‘Baiklah, aku sudah menemanimu
sepanjang senja, tepat seperti yang kamu minta. Saatnya untuk menutup
hari ini dengan kegelapan, dengan dihiasi bintang-bintang dan pancaran
sinar Rembulan. Aku sudah harus pergi, kamu dan manusia-manusia yang
lainnya sudah harus beristirahat dengan gelap dan sunyinya malam yang
menenangkan,’ begitu katanya. ‘Ya, aku mengerti. Kamu pun sudah harus
menyinari bagian lain dari Bumi ini,’ balasku ‘Yup, kamu benar, sampai
jumpa wahai manusia,’ begitu kata sang Mentari padaku senja itu
‘Sampai jumpa esok pagi, wahai Mentari,’ ujarku. ‘Dan aku harap, akan
ada lagi, hikmah dan pelajaran yang bisa kamu dapatkan dari apa yang
sudah Dia berikan, dari apa yang sudah Dia tebarkan, dari apa yang
sudah Dia ciptakan, anugerahkan. ‘Assalammu,’alaikum,’ katanya.
‘Alaikumsalam,’ jawabku. ‘Oh ya, satu hal, kamu tidak perlu berlari,
karena insya Allah aku menanti,’ begitu kata sang Mentari itu padaku.
Ia tersenyum untuk kemudian tenggelam di ufuk barat, meninggalkan
berkas-berkas sinar keemasan yang semakin lama semakin menghilang dari
pandangan. Dan adzan Maghrib pun berkumandang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
hhe
ma kasih atas kunjungan nya ya sobat,,,,,
mantaf ijin ser kawan
Posting Komentar